Prof. Yohanes Surya, Saya, dan Sekolah Genius

Saya sempat setahun mengajar Sekolah Genius yang didirikan Prof. Yohanes Surya di bilangan Kelapa Dua – Serpong, Tangerang – Banten.

Almanak ketika itu menunjuk tahun: 2017.

Pengalaman menjadi guru Sekolah Genius sungguh baru bagi saya. Excited. Mengajar siswa SD dengan tingkat IQ super. Materi yang saya ajarkan sama dengan di Universitas. Bisakah mereka menangkapnya?

Ternyata bisa!

Di Surya Universty, ketika itu, saya mengajar mata kuliah “Creative Writing”. Dengan beban 3 SKS, para mahasiswa bukan saja diwajibkan paham teori dan dasar-dasar, melainkan juga: terampil. Saya menjadi yakin bahwa materi bisa sama, tapi kedalaman yang membedakan suatu topik dipelajari siswa SD dan mahasiswa Program Doktoral. Yang sulit itu justru mentransfer kemampuan dasar, the basics, kepada pembelajar. Dari O menjadi suatu perolehan. Bagaimana membangun pengetahuan dasar, itu yang sebenarnya tidak mudah.

Maka di luar negeri, justru Sekolah Dasar gurunya para profesor. Ahli di bidangnya. Latihan akan menyempurnakan pengetahuan dan teori. Terutama vak/ ilmu yang berbasis keterampilan.

Oleh sebab itu, setelah teori, pembelajar wajib praktik. Sebab kami menganut aksioma, “Practice makes perfect.”

Bahwa, demikian cerdik cendikia. Sekaligus manusia setengah dewa yang dikirim Tuhan dari surga, Aristoteles (384 – 322) berkata, “We are what we repeatedly do. Excellence, then, is not an act but a habit” (Kita adalah apa yang berkali-kali kita ulang. Karena itu, hebat luar biasa bukanlah tindakan, melainkan kebiasaan atau suatu langkah yang dilakukan secara tekun).

Maka selain tahu banyak. Juga berlatih banyak. Dan melakukan apa yang diketahui akan membuat seseorang sempurna menjadi ahli di bidangnya.

Benarlah ungkapan ini, “repetitio mater studiorum est “. Pengulangan, atau latihan, adalah ibu-nya dari belajar. Sebab pengulangan akan membuat ingatan menjadi tajam. Pada akhirnya otomatisasi dari pengulangan itu, menjadi: habitus. Itulah excellence.

Tahun 2013, saya turut jadi baut Surya University. Tapi yang amat berkesan pada saya adalah kesempatan yang diberikan Prof. Yohanes Surya menjadi guru di Sekolah Genius miliknya. 

Prof. Yohanes Surya, atau dikenal Prof. Yo, bukan asing bagi saya. Ketika Universitas Multimedia Nusantara baru tegak, tahun 2007, beliau Rektor pertamanya.

Saya intens berkomunikasi dan menjalin persahabatan dengan beliau, selain sebagai rekan-sesama sivitas akademika. Kami aktif promosi dan menjaring mahasiswa, ketika itu, dengan strategi magnet kepakaran beliau sebagai fisikawan. Selain Prof. Yo, artis Jeremy Thomas kerap mendampingi.

Maka aura Sang Profesor tak pelak menarik banyak orang untuk berbondong-bondong sekolah dan berguru dengannya. Tahun 2010, saya ditunjuknya menajdi Ketua Tim Pelaksana Akreditasi Universitas Multimedia Nusantara (UMN). 

Tahun 2013, saya mengikutinya untuk turut jadi baut Surya University. Tapi yang amat berkesan pada saya adalah kesempatan yang diberikannya menjadi guru di Sekolah Genius miliknya. 

Saya di kelas Sekolah Genius. Menerapkan asas, “Bebas yang bertanggung jawab.” Semua ada waktunya. Ada waktu berbicara. Ada waktu mendengarkan. Ada waktu untuk berteriak mengekspresikan emosi. Ada waktu untuk diam. Ada waktu untuk bersama. Ada waktu untuk menyendiri.

Di sini guru adalah fasilitator, yang menggali dan mengarahkan siswa. Siswa bukan objek, melainkan subjek pembelajaran. 

Siswa bukanlah tabung kosong yang diisi guru dengan berbagai ilmu dan informasi. Di Sekolah Genius, saya menyadari bahwa tugas guru bukan mengajar, melainkan: fasilitator yang mengarahkan, menggali potensi, dan menanamkan norma serta menabur nilai-nilai kepada siswa. 

Yang lain-lain boleh saya lupakan. Namun, guru Sekolah Genius ini tak kan pernah lekang dari ingatan sepanjang hayat dikandung badan. Saya sungguh menikmati seagai “guru” di sini pada masa ketika itu. Mungkin akan kulis nantinya sejumput pengalaman dalam buku denganjudul “Pengalaman Mengajar di SEKOLAH GENIUS”.

Sejak 2017, saya meninggalkan 9-5 (nine to five). Yakni office hours yang selama 30 tahun saya terkungkung dalam basa basi serta aroma kaku suasana kantoran.

Saya ingin jadi manusia merdeka. Berdikari. Sudah cukuplah selama ini berusaha, ikut orang.

Share your love
Avatar photo
Masri Sareb Putra
Articles: 731

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply