Puisi dan Binatang-binatang Pembacanya

Harimau itu bukan kambing, kambing sendiri bukan ular, maka ular bukan harimau bukan pula kambing, dan binatang mitologis khimaira (chimera) bukan itu semua, melainkan gabungan semua itu: ya harimau ya kambing ya ular.

Di Indonesia ada manusia turunkan harimau dan ular, dan dia tidak berdarah kambing, namanya Iwan Fals: Ayahku harimau, ibuku ular, kata dia dalam salah satu lagunya. Nyanyikan tangis, marah, dan cinta. Lagu tersebut sangat harimau.

Dan puisi kira-kira macam khimaira, bukan prosa, bukan drama, bukan filsafat, bukan aforisma, bukan nasehat, bukan quote, apalagi pensée (yang bukan penyair jadilah Pascal!).

Kalau kita lihat puisi, maka judulnya itu harimau, bait dan barisnya kambing, kata-kata terakhirnya ular. Kalau susunannya dibolak-balik, judulnya ular, bagian tengahnya kambing, ekornya harimau, dia akan kurang seimbang, berat ke belakang seperti pantat Semar, ada sisi lucunya. Puisi itu bahkan bukan khimaira yang masih memperlihatkan tiga hewan dalam kesatuan mengingat semua itu ada di dalamnya tapi semua itu tak lebih dari bayang-bayang yang membayangi penyairnya dan juga pembacanya. Melihat khimaira kita bisa mengidentifikasi binatang apa saja yang jadi satu, tetapi melihat Chairil Anwar, misalnya, ya binatang, ya jalang, ya terbuang dari kumpulannya.

Pembaca puisi sendiri terbagi-bagi karena disebabkan bayang-bayang yang menghantui mereka. Ada pembaca urat leher, yang baca pelan atau teriak sama saja pakai urat tegang leher. Tuhan lebih dekat daripada urat leher adalah prinsip mereka yang disadari atau tidak. Dia begitu karena dibayang-bayangi para pembaca puisi panggung yang tidak pernah menang, kecuali tingkat kecamatan dengan juri kelas kabupaten. Pelajar sampai mahasiswa terkena gejala yang sama. Kepala mereka harimau. Demonstran yang berteriak lantang tapi pecah pikirannya adalah model mereka.

Ada pula pembaca serak-serak basah, dan serak-serak basah itu bukan bawaan genetik, apalagi penyakit disebabkan radang, tetapi konstruksi kepedihan dicinta dan mencinta yang berbelitan sehingga hanya senang baca puisi-puisi yang membayangkan dirinya pada situasi pilihan-pilihan yang berat, kelindan yang rapat seperti batuk dan dahak. Dia bisa saja membaca puisi heroik, tapi tetap akan serak-serak basah karena pengalaman batinnya dalam dicinta dan mencinta mengalahkan puisi paling harimau sekalipun. Kepala mereka ular dari jenis-jenis jinak. Model mereka adalah korban-korban kekerasan saat diwawancarai host talk show.

Ada pula pembaca Master of Ceremony (MC), apa saja puisi di tangannya akan dia bacakan umpama menyapa tamu undangan: “Hadirin yang budiman… mohon…” Dia ada dalam bayang-bayang mikrofon, lampu kamera, video, dan hadirin berjas atau berbatik. Di tingkat kecamatan sampai kabupaten/kota ada kemungkinan menang asal jurinya dari unsur dinas satu, unsur jurnalis bodong satu, unsur event organizer satu. Kepala mereka tampan seperti domba Garut di ajang tarian silat domba. Domba bukan kambing tapi kerabat paling dekat.

Yang aneh adalah pembaca-pembaca ngeden, seperti sedang melahirkan bola dunia sebesar bola sepak. Sampai sekarang saya tidak tahu di kepalanya ada hewan apa, tapi jelas itu tidak penting. Orang ngeden ada masalah dengan dunia yang pernah ditelannya, entah itu ilmu, entah itu nasehat, entah itu sejenis susuk. Di mana-mana tak akan menang.

Yang langka adalah para pembaca sejati. Pakai kaca mata atau tidak, duduk di meja atau di atap kereta api rakyat desa, muda atau sudah aki-aki, naik boeing atau kapal selam, dia menemukan dirinya di hadapan dunia secara berbeda. Dunia sendiri adalah tempat mengadanya beberapa kenyataan, dan kenyataan sendiri menempatkan dia sebagai salah satu elemen berdenyutan, dan pada gilirannya menempatkan dia dalam “presentasi” sekaligus “representasi”. Dia tak punya kepala, badan, apalagi ekor yang pasti. Dia bahkan tak dapat menyentuh Sang Arti.

Tentu saja bergantung puisinya. Benar, tetapi puisi jelek sekalipun, di tangan pembaca sejati akan tampak sisi-sisi perak-emas-permatanya, meski itu dari dia sendiri dan bukan dari puisi jelek tersebut. Sedangkan di tangan para pembaca kelas harimau-domba bin kambing-dan ular jinak, puisi-puisi hebat pun akan meraung, mengembik, dan mendesis.

(Kalian yang kemarin juara lomba FLS2N tingkat provinsi, merasa jenis pembaca mana? Bersungguh-sungguh atau setengah hati memasuki panggung tingkat nasional sepenuhnya urusan kalian. Dan urusan puisi tetap sama, urusan khimaira tapi bukan khimaira di mitologi Yunani, tapi kira-kira macam itu sebagai cara untuk membayangkan/dibayangi dunia yang jadi urusannya. Sebenarnya jauh lebih kompleks lagi. Paling tidak bacalah dulu puisi sebanyak mungkin, menang kalah tokh sama juga: ada ongkos pergi dan ongkos pulang dan ada puisi di perjalanan yang kadang disia-siakan.) []

Share your love
Avatar photo
Arip Senjaya

Pemenang Literasi Terapan Lokal Perpusnas 2022, alumni Batu Ruyud Writing Camp Kaltara, dosen filsafat Untirta, anggota Komite Buku Nonteks Pusbuk Kemdikbud, sastrawan, editor. Alumni UPI dan UGM.

Articles: 28

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply