Puisi, Sepatu, dan NU

Kritik Baru baru dikritik-kritikkan mulai tahun 1940-an. Lantas subur makmur hingga tahun 1960-an. Memang tahun 1941 ada biang keroknya, The New Criticism John Crowe Ransom. Di Amerika.

Barang siapa merasa baru lulus skripsi dengan garapan biografi pengarang, barang siapa kritikus omong-omong tentang konteks sosial sastra, guru hapal betul periodisasi dalam sejarah, di masa itu, semua mendadak merasa ketinggalan gosip ilmiah. Kritik Baru benar-benar masih bau lem. Coba bayangkan masih ada para akademisi yang di abad 21 ini seakan baru Eureka-Eurekaan dengan fajar objektivitas.

Baca Tata Bahasa Cacing

Memang di masa 40-60-an itu ada tren orang melihat sepatu dari bau lemnya, jenis talinya, pilihan catnya, kardusnya, karetnya, dan tidak peduli siapa desainernya, pasar mana yang jual, mengapa pula konsumen suka modelnya, merek pun bebaslah. Sastra pun = sepatu, dipandang dari berbagai sisi intrinsik oke, maka okelah dia. Otonomi teks adalah tentang karya yang berdiri sendiri. Pantas di masa itu Bung Karno senang benar bilang berdikari sambil—anehnya—bilang-bilang jasmerah (jangan lupakan sejarah), tidak konsisten, terlalu biografis.

Bung Karno tahu dong Amerika, tahu juga pasti Cleanth Brooks dan Robert Penn Warren. Presiden pandai pilih diksi mesti baca Understanding Poetry (1938). Mungkin juga baca Understanding Fiction (1943). Berhusnuzan itu baik, karena tidak mungkin Bung Karno kurang gaul bacaan.

Saya sendiri di akhir abad ke-20 malah tidak baca Warren yang Robert Penn, melainkan Warren yang Austin yang temannya René Wellek itu, terjemahan pula, Bu Melani Budianta.

Dulu salah satu senior saya bernama vena Herwan FR, dia tidak ada kaitan dengan semua ini, melainkan karena ada dosen fiksi kami di Bandung bergaya F.R. Leavis sehingga saya menyarankan dia untuk membuang “FR”-nya itu.

“Kenapa? Itu nama pemberian Wan Anwar. Amat berharga.”

“Tapi saya selalu teringat dosen fiksi kita. ‘Tidak ada,’ kata dia, ‘kajian sastra paling objektif selain… mari kita lihat lagi… kata-kata… di halaman…’. Sudikah dirimu, Mas, dibuang dari dunia ini setelah crot lahir sebagai puisi atau cerbung?”

Baca Penyair Terkutuk

Bedanya dari F.R. yang Leavis, dosen kami yang niru-niru gaya Barat itu senang sufisme sehingga hanya karya-karya yang sedikit-sedikit ada sufismenya yang beliau bangga-banggakan, dan cerita dia soal sufisme amat tafsir bebas, tak ada objektif-objetifnya, sedangkan saya sendiri lebih senang bicara sastra dalam tradisi besarnya. Jadi, tak peduli-peduli amat dengan objektivitas.

Baru nanti setelah kuliah dengan Zainal Abidin Bagir di Jogja saya mulai bertemu tawa: untung sejak dulu tak peduli objektivitas. Maklum dosen kami yang agak tawar itu menyarankan kami baca buku A.F. Chalmers What is this thing called science?

Kita kembali pada sepatu. Menurut T.S. Eliot, melihat sepatu harus memperlakukannya sebagai sepatu. Apakah selain penyair dia juga jualan sepatu? Maksud saya, jika urusan objektivitas macam itu puisi dan sepatu apa bedanya (bukan soal penyair atau penjual sepatu). Karena sifat objektif itu kata Ransom sendiri adalah sifat-sifat dari objeknya, berat kotor dan berat bersihnya, dan setelah bruto maka ada neto. Kalau saya membeli buku puisi atau sepatu, maka dengan bismilah saya melupakan temperamen penyairnya dan judesnya penjual sepatu.

“Bagus bukunya?” tanya ibu saya ketika ia membuka kamar dan menemukan saya sedang tiduran bersama buku baru.

“Gak tahu juga. Hehe.” Tiba-tiba saya merasa dunia sesempit kamar memang.

Jika saya meluaskan dunia puisi, saya seperti masuk ke alam penuh bidah, bagaimana pun saya tahu penyair B itu menderita sakit parah; H itu ada kasus hutang dengan distributor buku; M itu religius sekaligus senang dielus-elus biar kembang bulu hidungnya; N itu anak kiyai gede dan tak pernah ditemukan salat; S itu hanya peduli karya-karya dirinya sendiri dan para penyair baru yang menjilat-jilat puisi cengengnya; E itu pintar-pembaca-tekun-tapi tak punya selera dalam membaca yang baik-baik alias modal kutu buku; G itu hanya tulas-tulis bermodalkan kisah cinta yang sudah-sudah bin basi deh.

Pokoknya bidah is bidah meskipun saya bisa tambahkan dunia para penyair, tradisi besar kesusastraan itu, kepada halaman demi halaman sempitnya karya mereka, meskipun saya bukan Muhammadiyah. Explication de texte adalah sebuah cara untuk menjadi NU yang formalistik.[]

Share your love
Avatar photo
Arip Senjaya

Pemenang Literasi Terapan Lokal Perpusnas 2022, alumni Batu Ruyud Writing Camp Kaltara, dosen filsafat Untirta, anggota Komite Buku Nonteks Pusbuk Kemdikbud, sastrawan, editor. Alumni UPI dan UGM.

Articles: 30

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply