Tata Bahasa Cacing

Dari tradisi “studia humanitatis” abad ke-16 kita pertama kali mengenal humanisme. Humanis berarti orangnya, yang bekerja di lapangan tersebut. Kerjanya mengajar, meneliti, juga mengabdikan diri di bidang yang sama. Filsafat moral, tata bahasa, sastra—khususnya puisi—adalah bidang perhatian utama mereka. Matematika dan filsafat alam bukan urusan humanis, apalagi budi daya ayam petelur.

Jadi, kalau saya mengurusi ayam petelur, jual telurnya, dagang pakannya, bisnis kotorannya, bikin kemoceng bulu ekor jago, ideologi saya pun ideologi kokok ayam, praktik sosial saya macam ayam pejantan yang petantang-petenteng, maka saya adalah ahli budi daya ayam, dan bukan humanis.

Tidak hanya filsafat moral, atau tata bahasa, atau sastra, sebenarnya humanis awal itu hanya berurusan dengan yang klasik-klasik, khususnya sumber-sumber Latin dan Yunani. Maka mereka fasih baca tulis Latin pun Yunani. Pemulihan sumber (penulisan ulang), dan penulisan uraian-uraian penjelasnya (macam kitab syarah), adalah kontribusi besar mereka pada dunia. Kita mengambil manfaat besar dari mereka tanpa pernah menyadarinya. Mereka adalah jembatan intelektual yang membuat kita terhubung ke masa lalu pemikiran. Renaisans yang kita kenal dalam sejarah juga tidak akan lahir tanpa jasa besar mereka.

Jadi, jangan merasa diri humanis kalau tidak pernah merasa fasih calistung Latin dan Yunani dan dapat pula membuat kitab syarahnya. Kalau bisanya bicara sama semut dan cacing, itu namanya hewanis bin animalist bin instingtualis, dan dapat diduga dulu mengira lagu Melisa Trisnadi: semut-semut kecil… saya mau tanya… apakah kamu di dalam tanah… tidak takut cacing sebagai salah satu ayat keramat dari kitab Nabi Sulaiman yang paling dicari. Dan kalau hanya bisa bicara sama malaikat, dan tak peduli jamaah mengerti atau tidak, itu namanya muhaddats kadzib(is), karena muhaddats yang tulen dan mengerti suara barzakhi (yang gaib) pasti mengerti suara jamaahnya. Banyak lho dosen yang saat tatap muka menghadap ke papan tulis seolah sedang berbincang dengan bisik-bisik gaib.

Kini mungkin mereka yang tidak dapat disebut humanis itu adalah lulusan-lulusan pelatihan sehari-dua hari. Di kepala mereka bukan lagi Latin dan Yunani, bukan Abad Pencerahan pula, sebagai kelanjutan dari Renaisans, tapi PPT demi PPT (sebagai singkatan dari Pura-Pura Tahu). Dan lulusan-lulusan PPT ini yang belakangan banyak mengatur mereka yang masih betah di perpustakaan, di gua-gua, di bilik-bilik, untuk mengerjakan titah mereka, sehingga yang terima titah banyak mencibir.

Namun karena humanis sejati agak jauh dari kebenaran wahyu, lebih pada internalisasi nilai dan pengalaman sebagai manusia, di Indonesia sepertinya harus ditambahkan bahwa humanis itu mestilah juga Pancasilais. Paling tidak hal itu mirip dengan para humanis di masa Renaisans yang notabene merupakan orang-orang Kristen saleh (dengan catatan mereka melupakan pengaruh tumbuhnya paganisme terutama dalam semangat seni).

Rasanya kita di Indonesia tidak pernah mendengar si Fulan itu Islam humanis, tapi dalam sejarah sastra Barat kita tahu Philip Sidney adalah Kristen humanis. Bisa kita tambahkan dengan Edmund Spenser di abad yang sama, enam belas, atau John Milton di abad berikutnya, tujuh belas.

Sekarang, yang masih-masih dapat dihitung humanis itu adalah mereka yang membawa semangat humaniora dan berdepan-depan dengan perkembangan sains yang merugikan manusia. Pengetahuan humaniora saja belum cukup kalau tidak tahu jurus-jurus kuda hitamnya.

Di abad ke delapan belas itu kita mengenal seorang kepala sekolah bernama Samuel Johnson, mengarang buku Life of Milton, dengan isi penuh khawatir pada ilmu-ilmu yang disebutnya “ilmu-ilmu eksternal”, geometri adalah salah satunya, yang di masa itu telah menjadi urusan besar para intelektual. Dengan buku itu ia kembali mengajak para pembacanya untuk ingat lagi filsafat Sokrates, bahwa menjadi manusia baik lebih utama daripada menjadi manusia geometri. Bukan artinya geometri itu tidak baik, marah nanti Pak Anwar Mutaqin, dosen matematika pintar filsafat itu, tetapi jelas Sokrates menekankan bahwa hal terbaik yang harus kita pelajari adalah pelajaran menjadi baik. Jadi, kalau saya belajar geometri, saya tetap harus belajar membentuk diri dalam garis-garis manusia yang baik, tak cukup mengerti Euclid dan Archimedes, jangan sampai kemudian berbentuk buruk untuk menambah lagi volume sampah manusia-manusia korup, dan kelak disapa para cacing dan semut yang teriak-teriak girang: “Eureka! Eureka!” sementara saya tidak pernah mengerti percakapan mereka karena saya lemah dalam tata bahasa cacing. []

Share your love
Avatar photo
Arip Senjaya

Pemenang Literasi Terapan Lokal Perpusnas 2022, alumni Batu Ruyud Writing Camp Kaltara, dosen filsafat Untirta, anggota Komite Buku Nonteks Pusbuk Kemdikbud, sastrawan, editor. Alumni UPI dan UGM.

Articles: 30

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply