Dari apartemen saya di Corentin Celton, apartemen yang kini lupa namanya, lagi pula memang tidak berplang nama –aneh juga, saya biasa berjalan ke arah lubang Métro Corentin melintasi gedung Victor Hugo.
Dua mingguan kurang lebih saya melintasinya. Gedung ini sepi-sepi saja, tetapi bukan tak pernah ada aktivitas. Mungkin tak lebih dari lima orang setiap harinya yang berkantor di dalamnya, ada lelaki dan ada perempuan.
Gedung ini tidak ada hubungannya dengan kesusastraan. Bahwa namanya adalah nama sastrawan besar Perancis abad ke-19, tidak berarti tidak boleh dipakai untuk pusat bisnis. Di Perancis paling tidak nama “Victor Hugo” memang dipakai untuk beragam nama. Selain museum rumah tinggalnya sendiri di 6 Pl. des Vosges, rasanya saya juga pernah melihat nama yang sama digunakan jadi nama gedung-gedung lainnya.
Gedung perkantoran yang di Corentin Celton itu dinamai “Victor Hugo” saya kira karena kebetulan saja dibangun di Jalan Victor Hugo 110 (Avenue Victor Hugo, 110). Di luar kebetulan saya yakin karena namanya besar dapat dipakai untuk apa saja.
Di Jakarta atau kota-kota lain di Indonesia ada nama-nama jalan “Moh. Yamin”, tapi rasanya tidak ada kebetulan dan kesadaran menggunakan nama yang sama untuk gedung-gedung di jalan Moh. Yamin. Di Surakarta, misalnya, pertokoan, klinik, bahkan nama-nama sekolah yang tidak berlabel “Moh. Yamin”. Juga di Bekasi Jawa Barat nama “Moh. Yamin” hanya nama jalan. Waktu saya tinggal di Yogyakarta pernah melihat gedung Moh. Yamin di kampus UII, tapi ini di Jalan Tamansiswa (nama jalan yang merujuk pada Ki Hadjar Dewantara). UNY juga punya Gedung Moh. Yamin, di Jalan Colombo. Di tanah Sumatera Barat memang ada Gedung Serbaguna Moh. Yamin, tapi itu di jalan Rangkayo Rasuna Said. Dan baru tahun 2023 di Sawahlunto, di tanah kelahirannya, ada gedung bernama Moh. Yamin, gedung perpustakaan umum yang juga baru diresmikan pada tahun tersebut.
Ketika kepala Perpusnas meresmikan gedung tersebut, seorang kawan berkabar kepada saya bahwa tak disebutnya sama sekali nama besar Moh. Yamin itu!
“Lalu apa?”
“Beliau membahas tentang batu bara, literasi, persaingan global….”
“Kalau Pak Walikota?” Saya penasaran.
“Tidak juga. Hanya membahas minat baca yang tinggi.”
“Dan Duta Baca itu?” Saya makin penasaran.
“Duta Baca itu malah cerita tentang pengalamannya sendiri, pengalaman masa kecil bersama buku-buku. Dan tidak disebutnya juga siapa Moh. Yamin.”
Tapi baiklah. Sebaiknya kita bicara tentang Victor Hugo lagi. Sampai mana tadi? Cerita-cerita perjalanan saya di Perancis kadang-kadang sulit saya teruskan karena terganggu oleh cerita-cerita teman di negeri sendiri. []