Boleh Saja kok Jadi Pembaca Polisi

Aku gak terlalu ingat sudah seberapa sering ngebaca karya-karya Budi Darma. Novel-novelnya, kumpulan-kumpulan cerpennya, juga kumpulan-kumpulan esainya. Terakhir kali temukan cerpennya itu di Kompas, lupa juga judulnya, tapi masih kebayang ceritanya tentang apa, tentang orang Jawa yang punya urusan bisnis lintas negara dan ketemu perempuan berdarah Jerman, kalau gak salah di Singapura, dan ujung-ujungnya ada kejutan tentang masa penjajahan Jepang dari sudut pandang ibu si tokoh Jawa itu. Begitu deh pokoknya.

Secara keseluruhan aku suka apa pun yang kubaca dari Budi Darma. Esai-esainya juara semua deh, baik di Harmonium maupun Solilokui. Cara beliau ngeritik itu kasar tapi gak kasar, lucu, gokil, dan gak nyambung sama orangnya. Pernah sekali kami berbincang di Kompas, minum teh, dan sempat berfoto juga buat pamer di Instagram. Benar-benar gak kebayang dari sosok macam beliau itu lahir novel Olenka. Tapi aku sempet ngebayangin beliau itu seperti tokoh aku dalam cerpen beliau “Laki-Laki Tua Tanpa Nama”. Itu tokoh yang terlalu kepo dengan kehidupan tetangga-tetangganya di Fess. Dan keponya itu ngandung lugu. Apa mungkin pengarang-pengarang hebat itu ada lugu-lugunya? Tokoh aku di cerpen tersebut juga dapat dibilang terlalu goblok jika, misal, harus ngabisin waktu buat neleponin orang kek gak ada kerjaan lain lagi aja.

Tokoh dalam cerpen tersebut seperti tokoh permulaan atau tokoh yang masih polos yang kelak jadi Fanton Drummond dalam Olenka, paling enggak keduanya sama-sama kepo dan suka ngepoin orang.

Oya sebenarnya aku gak mau nulis panjang-panjang tentang Budi Darma buat saat ini. Hanya ingin bilang bahwa salah satu rahasia beliau dalam cerpen-cerpennya itu adalah mampu nyiptain kesadaran kita bahwa agak sulit menilai manusia itu ada salahnya. Manusia itu dalam cerpen-cerpen beliau selalu tentang hal-hal yang ada benernya juga. Munculnya tokoh polisi dalam cerpen “Laki-Laki Tua Tanpa Nama” itu sangat penting, polisi itu sebenarnya kita yang jadi pembaca. Kita yang dibuat bingung mutusin siapa yang salah: apakah si veteran dengan pistol kosongnya itu atau Ny. Nolan yang menembaknya? Sastra yang baik—maafkan jika kata “baik” itu mungkin kurang sopan buat yang beda aliran—adalah yang bisa bikin kita mengakhiri bacaan dengan mikir ulang tentang kesalahan, kejahatan, juga kebenaran, dan kebaikan.

Pembaca, dalam hal ini, adalah polisi yang gak bisa mutusin siapa salah siapa benar, siapa jahat siapa gak jahat. Maka gak bisa tuh kita bicara tentang antagonis-protagonis dalam urusan sastra yang baik itu. []

Share your love
Avatar photo
Arip Senjaya

Pemenang Literasi Terapan Lokal Perpusnas 2022, alumni Batu Ruyud Writing Camp Kaltara, dosen filsafat Untirta, anggota Komite Buku Nonteks Pusbuk Kemdikbud, sastrawan, editor. Alumni UPI dan UGM.

Articles: 41

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

47 Comments

  1. 4A_Rizkia Mulyani_2222230038

    Agaknya saya setuju dengan perspektif ini, terkadang kita perlu memandang tiap tokoh protagonis dan antagonis dari kedua sisi. Dari sisi lain itu saya tidak lagi menilai tentang baik atau buruknya tokoh melainkan ‘alasan’ itu sendiri. Tanpa sadar saya seringkali menjadi ‘polisi’ dalam konteks membaca novel atau menonton film dan drama. Dari beberapa karya yang pernah saya baca, kadang-kadang penulis seolah membuat saya harus memahami cerita mereka padahal ceritanya ada yang menentang ataupun tidak masuk logika saya.

  2. 4A_Aulia Fitri Anisa_2222230047

    Tulisan ini membuat saya merasa dejavu. Sering kali menjadi Pembaca Polisi ketika menikmati bacaan yang dimuat orang lain. Padahal, belum tentu yang saya pikirkan sama dengan maksud dari tujuan si penulis. Hal ini nampaknya sama dengan Polisi Bahasa, ya? Ketika saya berbicara atau menulis dengan beberapa kata bahasa asing, saat ada kesalahan bahkan satu fonem saja, langsung tuh dikritik oleh orang-orang yang ‘sudah pro’ dalam bahasa tersebut. Namun, setelah saya membaca tulisan ini saya merasa lega. Ah, boleh menjadi Pembaca Polisi, tetapi tidak boleh langsung menghakimi bahwa bacaan saya itu termasuk dalam sastra yang baik atau tidak, apalagi kalau yang saya pikirkan itu hanya berdasarkan dengan kesukaan saya terhadap karakter-karakter tertentu yang mana tentu saja subjektif.

  3. 4B_Eka Septiawati_2222230015

    Saya setuju dengan apa yang dibahas di dalam esai ini, esai membahas bagaimana cerpen Budi Darma menampilkan karakter dan situasi yang kompleks secara moral. Tokoh polisi digambarkan sebagai simbol pembaca yang kritis namun empatik. Esai menekankan bahwa kebenaran tidak selalu hitam putih, dan menjadi pembaca yang penuh pertimbangan adalah hal yang wajar dalam memahami karya sastra. Esai tersebut menekankan pentingnya menjadi pembaca yang kritis, seperti penyidik, dalam memahami cerita dan informasi. Dalam kehidupan sehari-hari, sikap ini membantu kita menganalisis informasi secara mendalam, mengembangkan empati, dan membuat keputusan yang bijak. Membaca pun menjadi proses aktif yang melibatkan pemikiran dan refleksi.

  4. 4B_Haura Zhafira Nur Azizah_2222230127

    Menurut saya esai ini menyampaikan pandangan yang menarik tentang karya-karya Budi Darma. Menggambarkan bagaimana Budi Darma mampu menciptakan tokoh-tokoh cerita yang tidak mudah untuk dinilai—tidak sepenuhnya baik, tidak sepenuhnya jahat.
    Gagasan bahwa pembaca berperan sebagai “polisi” yang mencoba menilai siapa yang benar dan siapa yang salah sangat tepat. Dalam cerita “Laki-Laki Tua Tanpa Nama”, misalnya, kita tidak bisa begitu saja menyalahkan satu tokoh.

  5. 4B_Eka Dwi Sasmita Putri_2222230013

    Tulisan ini yang menarik perhatian saya yaitu tentang penggambaran pembaca sebagai polisi. Gagasan bahwa pembaca tak lagi hanya sebagai penikmat cerita, tapi juga sebagai ‘penegak hukum’ yang dilema dalam menentukan siapa yang benar dan salah, memberikan pemahaman baru dalam memahami sastra. Hal ini mencerminkan kekuatan cerpen Budi Darma yang mampu membuat pembaca terus-menerus mempertanyakan posisi mereka sendiri.

  6. 4B_Rizkia Apriliani_2222230061

    Saya sepakat dengan sudut pandang ini. Dalam menikmati cerita, entah itu dalam novel, film, atau drama, kita sering kali terjebak dalam penilaian moral terhadap tokoh, mana yang benar, mana yang salah. Padahal, lebih dalam dari itu, ada latar belakang dan alasan yang membentuk tindakan mereka. Saya pribadi kadang tanpa sadar terlalu fokus pada logika cerita atau sikap tokoh, sampai lupa bahwa karya fiksi juga ruang untuk eksplorasi perspektif yang mungkin berbeda dari pandangan saya. Tulisan ini jadi pengingat yang baik bahwa membaca tak melulu soal menghakimi, tapi juga memahami.

  7. 4A_Dwi Putri Ardini_2222230009

    Saya suka gagasan bahwa pembaca dijadikan seperti “polisi” yang harus menimbang sendiri siapa yang salah atau benar. Esainya menyadarkan kita bahwa sastra yang baik memang seringkali bikin kita mikir ulang, bukan kasih jawaban pasti.

  8. 4A_Siti Maulida_2222230055

    Setelah membaca esai “Boleh Saja kok Jadi Pembaca Polisi” saya melihat bahwa esai ini punya pendekatan yang menarik dan personal terhadap karya Budi Darma. Penulis menyampaikan dengan gaya santai, nyaris seperti obrolan, tapi di balik gaya itu tersimpan pemikiran yang dalam: bahwa sastra tidak selalu menawarkan jawaban pasti, tapi justru mengajak kita mempertanyakan.

    Saya setuju dengan gagasan utama esai ini: bahwa dalam sastra, pembaca sering tanpa sadar memposisikan diri sebagai hakim moral—menentukan siapa yang baik, siapa yang jahat. Tapi Budi Darma, seperti yang dijelaskan, justru mengaburkan batas itu. Tokohnya sering ambigu, tidak bisa dikotakkan dalam kategori klasik protagonis-antagonis. Ini mencerminkan kenyataan bahwa manusia dalam kehidupan nyata pun tidak pernah sesederhana itu.

    Saya melihat hal menarik lainnya, di mana esai ini juga menunjukkan bahwa membaca sastra yang “baik”—dalam arti sastra yang menggugah dan reflektif—membutuhkan kerendahan hati. Pembaca harus bersedia merasa bingung, tidak nyaman, bahkan berubah pendapat setelah membaca. Dan itulah kekuatan sejati dari sastra: bukan untuk menguatkan prasangka, tapi membuka ruang tafsir dan empati.

    Saya merasakan hal yang sama dari pengalaman saya, membaca sastra atau menonton film terasa lebih menyenangkan saat saya menikmati dan mengikuti alurnya tanpa harus menilainya terlalu berlebihan dalam sudut pandang saya. Sebagai penikmat, saya sadar saya tidak bisa mengubah alur namun masuk ke dunia sang penulis, walaupun pada akhirnya perlu adanya proses berpikir kritis dan tidak bulat-bulat menerima semua yang diberikan.

  9. 4A_Aulia Najla Huwaida_2222230043

    Saat saya membaca tulisan ini, jadi teringat bahwa ketika membaca tulisan karya para pengarang saya seringkali membayangkan seseorang yang cocok atau mirip dengan tokoh yang ada dalam cerita tersebut agar alur dari karangan itu bisa dengan mudah saya pahami. Selain itu setiap menjadi pembaca, saya selalu memakai perspektif pribadi sehingga secara tidak langsung saya adalah pembaca polisi, hanya memahami alur dan akhir cerita sebagaimana imajinasi saya sendiri dengan tidak melihat sudut pandang pembaca lain. Namun bukannya sama sekali tidak pernah saya merasa harus berulang kali memahami maksud atau makna dari sebuah karangan, terdapat beberapa karangan (tidak cukup banyak) yang membuat saya bingung sehingga harus berpikir ulang dengan isi tulisan tersebut.

  10. 4B_Anisa Isnaeni Faturohmah_2222230124

    Saya setuju dengan pandangan yang diungkapkan dalam esai tersebut. Dalam dunia sastra, kita sering kali bertindak sebagai “polisi” yang menilai karakter atau tindakan tokoh berdasarkan pandangan moral kita sendiri. Hal ini juga terlihat dalam cara kita membaca karya-karya sastra, yang kadang membuat kita lebih fokus pada penilaian daripada mencoba memahami konteks lebih dalam. Namun, melalui cerita seperti “Laki-Laki Tua Tanpa Nama” karya Budi Darma, kita diajak untuk tidak terburu-buru menghakimi karakter. Darma menampilkan tokoh-tokoh dengan kompleksitas yang memerlukan pemahaman lebih dari sekadar keputusan moral sepihak. Ini mengingatkan kita untuk tidak hanya melihat dari sudut pandang kita, tetapi mencoba menggali alasan di balik setiap tindakan, yang bisa membuat kita lebih bijak dalam membaca dan memahami karya sastra.

  11. 4A_Sulisthya Dewi_2222230049

    Saya setuju dengan esai tersebut, terkadang, kita sebagai pembaca bisa menjadi ‘polisi’ dari sebuah novel, drama, dan film. Hal ini untuk memahami bahwa dalam kehidupan nyata pun, kebenaran, dan kesalahan sering kali tidak kita bayangkan. Untuk itu, sebagai pembaca harus melihat kedua sisi dari tokoh antagonis-protagonis, baik itu sisi kebaikan maupun kesalahan. Sebagai pembaca polisi tidak berarti kita harus menghakimi seenaknya, melainkan lebih kepada usaha kita untuk memahami cerita dan karakter. Kadang-kadang kita terjebak untuk langsung menilai karakter tertentu, padahal mungkin ada sudut pandang lain yang belum kita ketahui.

  12. 4A_Alfatika Alya Ananda_2222230046

    Setelah membaca ini saya sadar
    bahwa ternyata selama ini berarti saya termasuk pembaca polisi. Agaknya memang susah untuk mencegah menjadi pembaca polisi padahal saya hanya pembaca saja, tetapi sering berlagak menentukan siapa yang salah siapa yang benar. Dari esai ini saya paham bahwa memang tidak apa-apa menjadi pembaca polisi asal tidak langsung mencibir baik atau tidaknya sastra tersebut. Terkadang sebagai pembaca saat alur dalam sebuah karya sastra itu tidak sesuai keinginan pasti langsung mencibir sastra tersebut padahal kita hanya pembaca yang tidak sepatutnya ikut campur.

  13. 4B_Arum Handayani_2222230067

    Saya mulai merenungkan istilah dari Pembaca Polisi, karena ternyata saya sendiri cukup sering, dan terkadang secara tidak sadar untuk mengambil peran seperti itu. Saat membaca sebuah cerita atau bahkan menonton suatu film, saya kerap terburu-buru menyimpulkan, tokoh mana yang memiliki karakter jahat, padahal konteks yang disajikan ternyata tidak sesederhana itu. Saya selalu merasa seolah-olah harus menemukan pihak yang bisa disalahkan, seakan setiap bacaan selalu memiliki sisi yang sepenuhnya benar atau sepenuhnya salah. Namun, setelah dipikirkan kembali, justru di situlah letak kekuatan sebuah karya sastra yang sesungguhnya, ketika cerita mendorong pembaca untuk ragu, berpikir ulang lebih dalam, dan menyadari bahwa tidak semua hal memerlukan jawaban yang mutlak. Setelah membaca gagasan utama dari esai ini, saya menyadari bahwa menjadi pembaca ternyata tidak selalu berarti menjadi hakim, melainkan menjadi penafsir yang diajak memahami. Hal itu justru menjadikan pengalaman membaca sastra terasa lebih dalam dan manusiawi.

  14. 4A_Afina Aulia_2222230119

    Gaya Penulisan yang Mengalir dan Personal: Meskipun berisi analisis yang mendalam, esai ini ditulis dengan gaya yang santai dan personal, seolah-olah sedang berbagi pemikiran dengan teman. Penggunaan bahasa sehari-hari dan anekdot pribadi membuat esai ini mudah diikuti dan menarik untuk dibaca.

  15. 4A_Siti Nurbaiti_2222230120

    Setelah saya membaca tulisan ini, saya menjadi menyadari bahwa sedikit banyaknya saya membaca buku terkadang saya menjadi “polisi” padahal saya bukan penulis karya tersebut tapi mengapa saya harus mengatur alur cerita tersebut dan terkadang ekspetasi saya yang terlalu tinggi ataupun jalur ceritanya yang tidak sampai ke saya, saya juga menjadi mengerti bahwa ada beberapa penulis yang gaya penulisannya santai agar menarik para pembacanya dan pembacanya pun ikut merasakan secara tidak langsung ke dalam cerita tersebut.

  16. 4A_Saeli Malini Utamy_2222230039

    Sebetulnya menjadi pembaca itu tidak harus selalu objektif, kaku, atau menuntut jelasnya etika. Justru, pembaca yang baik adalah mereka yang bisa menempatkan diri seperti “polisi”—bukan dalam arti menjatuhkan keputusan perkara pidana yang menentukan benar-salah, tapi sebagai sosok yang terus bertanya, curiga, dan terbuka pada ambiguitas, dan saya setuju, sastra yang kuat justru membuat kita ragu untuk langsung menghakimi tokoh-tokohnya. Cerpen Budi Darma, misalnya “Laki-Laki Tua Tanpa Nama” yang sudah diceritakan oleh penulis dalam esai tersebut, “polisi” di akhir cerita melambangkan pembaca yang bingung, ragu, namun justru di situlah keseruan membaca terletak. Sastra yang baik, menurut saya, bukan yang memberi jawaban, melainkan yang memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru sehingga pembaca tidak hanya menikmati, tetapi juga berperan aktif dalam mengungkap dan menginterpretasi “kebenaran” tersebut.

  17. 4B_Dhiah Fatma Pratiwi_2222230062

    Saya setuju dengan perspektif ini, sastra yang baik memang harusnya bisa bikin kita mikir ulang tentang siapa yang benar dan siapa yang salah. Tapi, terkadang saya juga masih terjebak dalam konsep protagonis dan antagonis. Meskipun cerita yang saya baca tidak memberikan jawaban yang jelas, tetap saja ada kecenderungan untuk melihat siapa yang baik dan siapa yang jahat. Mungkin itu karena saya sudah terbiasa dengan pola pikir yang seperti itu, jadi meski ceritanya ambigu, saya masih saja terjebak dalam pemikiran itu. Jadi saya rasa tulisan ini bisa dijadikan pengingat untuk kita agar tidak terjebak dalam pola pikir tersebut.

  18. 4B_Nurfalida_2222230016
    Saya setuju sama tulisan ini. Kadang baca cerita tuh gak selalu harus cari siapa yang salah atau benar, tapi justru bikin kita mikir ulang tentang segala hal yang terjadi. Jadi, pembaca itu kayak polisi yang bingung mau mutusin gimana, dan itu seru karena bikin cerita jadi lebih hidup dan nyata. Pokoknya, tulisan ini ngingetin kita kalau baca sastra itu bukan cuma buat seneng-seneng, tapi juga buat belajar ngerti orang dan situasi yang nggak selalu hitam putih.

  19. 4B_Nurkaila Navita_2222230017

    Saya setuju dengan pandangan ini, bahwa karya-karya Budi Darma memang punya kekuatan dalam menggambarkan manusia secara kompleks. Tokoh-tokohnya sering terasa dekat dan nyata, karena mereka digambarkan dengan kelebihan dan kekurangannya sekaligus. Membaca cerpen-cerpen beliau memang membuat kita sadar bahwa menilai benar-salah itu tidak sesederhana kelihatannya. Sastra seperti ini memang membuat pembaca merenung, bukan sekadar menikmati cerita.

  20. 4A_Kamilatun Nabilah_2222230003

    Menurut saya artikel diatas menangkap esensi Budi Darma dengan tajam. Karena berhasil menunjukkan bagaimana ia membangun karakter yang sulit dinilai secara hitam-putih, serta bagaimana pembaca diposisikan sebagai “polisi” yang kebingungan menentukan benar dan salah.

  21. 4A_Zilfa Ghifara_2222230037

    Saya setuju dengan tulisan ini, tulisan ini sangat menarik seperti ketika tokoh dalam cerpen dibandingkan dengan sosok Budi Darma sendiri. Seolah-olah membuat keluguan, rasa ingin tahu, bahkan kegoblokan tokoh-tokohnya itu bukan kekurangan, tapi justru jalan masuk menuju pemahaman yang lebih luas tentang manusia.
    Yang paling menarik itu pada bagian soal pembaca sebagai polisi. Ini membuat pembaca berfikir apakah cerpen-cerpen Budi Darma bisa menangkap kesadaran kita yang suka ragu untuk memutuskan siapa yang salah. Di situlah letak kekuatan sastra Budi Darma, ia tidak menyuapi kita dengan jawaban, tapi membuat kita ragu, mempertanyakan, dan pada akhirnya, merenung. Bacaan seperti ini membuat kita menjadi lebih sabar dalam menilai manusia. Karena dalam kehidupan kita seperti cerpen Budi Darma, jarang sekali kita diberi jawaban yang pasti.

  22. 4B_Fahada Naina Hakim_2222230010

    Saya (mengaku) juga sebagai salah satu polisi pembaca yang kadang sudah berspekulasi diawal tentang siapa yang salah dan benar pada sebuah fiksi yang saya baca. Benar adanya jika yang ‘jahat’, belum tentu sepenuhnya jahat, pun sebaliknya. Baiknya jadi pembaca tidak hanya duduk dan menikmati alur, kita diajak mikir, diajak mikir ulang, dan kadang dipaksa untuk meragukan penilaian kita sendiri.

  23. 4B_Ismi Aunia_2222230072

    Menarik sekali saat disebut bahwa pembaca adalah polisi—tapi bukan polisi yang selalu punya kuasa buat mutusin salah-benar, melainkan polisi yang justru dibikin ragu, dibikin bengong di TKP, kayak, “Loh, ini siapa pelakunya, ya?” Dan kadang—atau sering malah—gak ada jawabannya. Saya langsung terpikir tentang tokoh Firdaus dalam Perempuan di Titik Nol karya Nawal El Saadawi saat membaca tulisan ini. Waktu itu, saya otomatis langsung kesal sama semua tokoh laki-laki di novel itu, kayak langsung main cap aja: ini jahat, ini brengsek, ini sumber masalah. Lalu ketika pada akhirnya Firdaus membunuh, saya pun dibuat bertanya-tanya. Salah nggak sih dia? Tapi masa iya salah? Tapi… dia ngebunuh. Tapi… dia juga korban. Ya ampun, muter-muter aja pikiran saya waktu baca itu. Rasanya saya kayak polisi yang baru sampai tempat kejadian, terus langsung nyari siapa yang bisa ditangkap duluan.

    Tapi setelah baca tulisan ini, saya jadi sadar, ternyata bukan masalah kalau kita jadi pembaca polisi, asal kita tahu bahwa kadang tugas kita bukan buat tangkap siapa pelakunya, tapi buat melihat bahwa mungkin… semuanya juga korban. Seperti cerpen Budi Darma yang disebutkan, pembaca dibuat ragu dan gamang. Tidak ada antagonis yang betul-betul antagonis, atau protagonis yang bersinar terang. Maka saya sepakat, bahwa kekuatan sastra memang terletak bukan pada caranya memberi pesan moral dengan spidol merah, tapi pada caranya menyeret kita ke tengah-tengah abu-abu dan bilang, “Nih, pikirin sendiri, ya.” Dan kadang, di titik itu, kita justru belajar lebih banyak—bukan soal tokohnya, tapi soal kita sebagai pembaca.

  24. Aulia Mujahidah-2222230122-4A

    Pernyataan yang menarik, mengibaratkan pembaca sebagai “polisi” yang tidak memiliki kuasa memutuskan benar atau salah, sehingga dianggap kurang relevan membicarakan antagonis dan protagonis dalam sastra. Di satu sisi, saya memahami perspektif tersebut bisa sebagai bentuk apresiasi terhadap kompleksitas sastra modern, di mana tokoh-tokoh tidak selalu hitam putih, dan pembaca diajak merenungkan makna tanpa menghakimi secara mutlak siapa yang sepenuhnya benar atau salah.

    • Aulia Mujahidah-2222230112-4A

      Pernyataan yang menarik, mengibaratkan pembaca sebagai “polisi” yang tidak memiliki kuasa memutuskan benar atau salah, sehingga dianggap kurang relevan membicarakan antagonis dan protagonis dalam sastra. Di satu sisi, saya memahami perspektif tersebut bisa sebagai bentuk apresiasi terhadap kompleksitas sastra modern, di mana tokoh-tokoh tidak selalu hitam putih, dan pembaca diajak merenungkan makna tanpa menghakimi secara mutlak siapa yang sepenuhnya benar atau salah.

  25. 4A_Siti Nurjanah_222230001

    Karakter polisi dalam “Laki-Laki Tua Tanpa Nama” menempatkan kita sebagai pembaca untuk melihat berbagai sudut pandang dari kedua belah pihak. Seperti Ketika kita berbicara tentang orang lain atau bergosip, kita tidak hanya mendengar satu sisi dari cerita tersebut. Kita berusaha menangkap berbagai perspektif, meskipun terkadang informasi yang kita terima tidak sepenuhnya benar atau dipengaruhi oleh opini pribadi. Kita juga menemukan situasi di mana kebenaran tidak selalu tunggal dan penilaian moral menjadi lebih rumit.

  26. 4A_Nabila Dea Nurcahyani_2222230005

    Saya setuju dengan esai ini yang menekankan bahwa salah satu keunggulan cerpen Budi Darma adalah kemampuannya menyadarkan pembaca bahwa manusia itu sulit dinilai secara sederhana. Oleh karena itu, sebagai pembaca harus memahami cerita dan karakter tersebut dan tidak semestinya menghakimi tokoh antagonis-protagonis nya.

  27. 4A_Tri Fitriani_2222230121

    Polisi yang sering mengajukan pertanyaan mengenai perkara-perkara, menangkap penjahat, serta membela kebenaran dan tak jarang membela kejahatan. Mengibaratkan pembaca sebagai “Polisi” ternyata sangat lah cocok. Seringkali pembaca bertanya-tanya terhadap alur serta tokoh-tokoh yang ditemukan dalam cerpen ataupun novel, menebak-nebak siapa tokoh penjahat, dan berpihak kepada kebenaran walaupun terkadang yang dianggap benar bukan lah hal baik. Jika, pembaca bertanya-tanya, ragu, serta bingung saat membaca novel, cerpen atau sebagainya. Maka pembaca seperti menemukan harta karun. Harta karun yang saya maksud adalah sastra yang melahirkan berbagai macam pertanyaan pada pembaca sehingga pembaca akan terus berpikir.

  28. 4B_Mufidatuz Zahro Aj-Jauharoh_2222230014

    Kalau dipikir-pikir, ketika baca cerpen atau novel yang “dalem”, kita tuh ngerasa kayak diajak mikir, bukan cuma duduk santai nikmatin cerita. Nah, bagian “pembaca itu kayak polisi” tuh pas banget. Kita dikasih fakta-fakta, dikasih tingkah laku tokoh-tokohnya, terus disuruh mikir sendiri: ini orang salah gak sih? Ini jahat apa cuma salah paham aja?

    Cerita-cerita yang kayak gitu bikin kita gak cuma jadi penonton, tapi juga ikut mikir dan ngerasa. Kita jadi mikir ulang soal apa itu benar, apa itu salah. Dan menurut saya, itulah keren dan jleb-nya sastra yang “baik” – yang bikin kita gak buru-buru ngasih label ke orang, yang bikin kita sadar dunia ini gak sesimpel hitam-putih.

    Jadi ya, bener sih, kadang dalam sastra yang dalam dan manusiawi itu, gak ada tokoh utama atau tokoh jahat yang jelas. Semua orang bisa jadi keduanya, tergantung dari mana kita lihatnya.

  29. 4A_Fitri Dwi Cahyani_2222230048

    Menurut saya, hal yang paling menarik dari esai ini adalah cara penulis menyoroti kemampuan Budi Darma dalam menciptakan karakter-karakter yang tidak bisa dihakimi secara hitam-putih. Saya sependapat bahwa tokoh-tokoh dalam karya-karya Budi Darma sering kali digambarkan kompleks dan ambigu, sehingga pembaca tidak bisa langsung menilai siapa yang benar dan siapa yang salah secara sederhana.

    Setelah saya membaca cerpen “Laki-Laki Tua Tanpa Nama”, saya melihat bahwa Budi Darma memang sengaja menyusun cerita dengan membiarkan pembaca terus bertanya-tanya: apakah laki-laki tua itu sungguh berbahaya atau hanya disalahpahami? Walaupun pada akhirnya dijelaskan bahwa pistol yang dibawanya kosong dan Ny. Casper hanya pingsan karena ketakutan, tetap saja ada ruang tafsir mengenai niat dan persepsi terhadap tindakan. Menurut saya, inilah kekuatan Budi Darma, dia tidak memberikan jawaban yang mutlak, tetapi justru membuka ruang bagi pembaca untuk berpikir dan menilai sendiri.

    Saya juga setuju dengan pandangan bahwa pembaca bisa diibaratkan sebagai “polisi” dalam cerita tersebut, yang mencoba memahami dan menyimpulkan siapa yang bersalah. Tokoh polisi dalam cerpen tersebut bukan hanya hadir sebagai bagian dari alur cerita, tetapi juga mencerminkan posisi pembaca yang kebingungan antara benar dan salah, jahat dan tidak jahat. Bagi saya, esai ini berhasil menangkap kekhasan Budi Darma sebagai pengarang yang tidak hanya menyajikan cerita, tetapi juga mengajak pembaca merenungkan berbagai makna di dalamnya.

  30. 4A_Nadea Juliana_2222230044

    Saya setuju dan menyukai gaya penyampaian yang dilakukan penulis esai ini, karena terasa seperti obrolan santai, namun tetap menyimpan makna yang penting dalam pembacaan sastra. Salah satu gagasan utama yang sangat menarik adalah tentang posisi pembaca sebagai “polisi”yang dihadapkan pada dilema moral tanpa bisa mengambil sikap tegas siapa yang benar dan salah. Terkadang kita menjadi bingung sendiri dengan alur cerita yang dibawa oleh “si penulis”, namun dititik itulah di mana cerita itu menjadi seru. Bisa saja “si penulis” memberikan _plot twist_ yang tak terduga sehingga membuat pembaca menjadi lebih tertarik. Sebenarnya membaca itu bukan untuk menghakimi, tetapi untuk membantu kita untuk mengalami kompleksitas pada manusia. Dan itu adalah nilai yang sangat kuat dalam karya-karya sastra. Menurut saya, sastra yang baik itu bukan untuk memberi jawaban pasti, tetapi untuk mengajak pembaca berpikir dan merenung. “penulis” tidak memaksa pembaca setuju, melainkan memberi ruang untuk menafsirkan sendiri makna cerita. Dengan begitu, pembaca menjadi ikut aktif dalam memahami kehidupan dan dilema moral yang ada, bukan sekadar menikmati cerita.

  31. 4A_Decinta Nesa Karisma_2222230004

    Analisis terhadap kompleksitas karakter, baik dalam kehidupan nyata maupun dalam karya sastra Budi Darma. Pengamatan bahwa pembawaan seseorang bisa beragam sesuai konteks, seperti yang telah saya baca perspektif mengenai Budi Darma sendiri menggambarkan ketakterdugaan karakternya, memang relevan dengan cara Budi Darma membangun tokoh-tokohnya. Contoh karakter polisi dalam cerpen ‘Laki-laki Tua Tanpa Nama’, Budi Darma seolah sengaja menggambarkan batasan antara penampilan luar yang mungkin terkesan lugu atau baik, dengan potensi sisi lain yang jauh lebih kompleks atau bahkan gelap. Kepribadian manusia yang terlihat di permukaan seringkali hanya sedikit dari keseluruhan kepribadian yang dimiliki. Karya Budi Darma, dalam hal ini, menjadi pelajaran yang sangat baik untuk mengasah kepekaan kita terhadap ambiguitas karakter manusia. Kita diajak untuk ‘berpikir panjang’, mempertimbangkan berbagai kemungkinan. Justru, penggambaran karakter yang abu-abu seperti inilah yang membuat sastra menjadi kaya dan relevan, karena mencerminkan kompleksitas kehidupan itu sendiri.

    • 4A_Faiza Raihany_2222230045

      Setelah membaca esai ini, saya menyadari bahwa saya pun termasuk pembaca polisi karena seringkali menempatkan baik buruknya tokoh dalam suatu cerita dari prespektif sendiri sebagai pembaca.

  32. 4A_Alifah Zahra Shafira_2222230129

    Setelah saya mengamati dan membaca hasil esai ini, bahwa saya setuju dengan sudut pandang dari penulis nya. Dan saya merenungkan bahwa berarti selama ini secara tidak sadar saya termasuk pembaca polisi. Namun, tulisan ini juga memberikan gagasan penghormatan dan kekaguman terhadap Budi Darma sebagai seorang pengarang yang berhasil memperoleh manusia secara halus lalu menggelitik nya. Melalui moral yang saya baca dari hasil esai ini adalah menunjukkan kepada saya terhadap sastra yang baik itu bukanlah dari jawaban yang pasti, melainkan yang mendorong pembaca untuk terus mempertanyakan ulang tentang konsep kesalahan, kejahatan, kebenaran, dan kebaikan itu sendiri. Jadi, untuk kehidupan sehari-hari bisa kita ambil sisi pelajaran nya bahwa menafsirkan dunia rekaan bisa membuat kita menyimpan ambiguitas moral yang kuat dan menggugah.

  33. 4B_Amellia Salsabila_2222230064

    Saya setuju tulisan ini. Esai ini menawarkan perspektif yang menarik dalam memahami bagaimana kita, sebagai pembaca, sebenarnya dilibatkan secara aktif oleh pengarang. Gagasan bahwa pembaca bisa jadi seperti “polisi” yang bingung menentukan siapa yang salah dan siapa yang benar menurut saya itu sangat menarik. Kadang waktu membaca cerita, saya pun terlalu buru-buru menilai tokoh, ia baik atau jahat. Padahal, seperti di cerpen Budi Darma, tokoh seringkali mempunyai alasan yang masuk akal di balik tindakannya. Justru itu yang membuat cerita terasa manusiawi. Pembaca tidak hanya menjadi penerima pasif cerita, tetapi juga turut terlibat dalam “mengadili” tindakan yang mereka hadapi. Tidak ada yang sepenuhnya baik atau buruk; semua tindakan memiliki latar belakang dan keadaan masing-masing. Maka menurut saya, sah-sah aja kalau menjadi “pembaca polisi”, namun jangan cuma fokus cari yang salah, coba juga pahami kenapa mereka melakukan itu.

    • 4A_Tifara Revalina Iryanti_2222230051

      Setelah membaca esai ini, saya setuju dengan “agak sulit menilai manusia itu ada salahnya” karena saya selama mendalami sastra pun sulit sekali dan membuat saya berpikir berulangkali, sastra bukan hanya sulit dipahami, tetapi mampu membuat pembaca melihat lebih luas apa yang sebenarnya terjadi pada karya sastra yang dibaca.

  34. Saya, sih, setuju dengan pendapat Pak Arip soal pembaca polisi itu. Sebab, kalau dipikir-pikir, saya rasa nggak adil bila melabeli satu tokoh dengan antagonis/protagonis. Kedua hal itu cuma perspektif pembaca aja. Mungkin menurut teman saya, tokoh A itu antagonis, tetapi saya melihat dari sudut pandang yang berbeda dan menganggap tokoh A sebagai protagonis. Makanya, saya sependapat dengan kalimat terakhir di esai Pak Arip.

    4B_Cici Juvian_2222230060

  35. 4A_Fadhilah Nur Salsabila_2222230123

    Gaya penulisan Budi Darma digambarkan sebagai “kasar tapi gak kasar, lucu, gokil, dan gak nyambung sama orangnya.”
    Artikel ini juga membahas cerpen “Laki-Laki Tua Tanpa Nama” dan novel “Olenka” karya Budi Darma. Penulis memberi perhatian khusus pada bagaimana Budi Darma menciptakan karakter yang membuat pembaca mempertanyakan penilaian moral khususnya menyebutkan tokoh polisi dalam cerita yang mewakili sudut pandang pembaca.
    Salah satu kekuatan Budi Darma, menurut penulis artikel, adalah kemampuannya menciptakan kesadaran tentang sulitnya menilai manusia. Ia menyebutkan adegan spesifik yang melibatkan seorang veteran dengan pistol kosong dan karakter bernama Ny. Nolan yang menembaknya, yang membuat pembaca bingung siapa yang salah dan siapa yang benar.
    Artikel diakhiri dengan kesimpulan bahwa sastra yang baik membuat pembaca merenungkan kesalahan, kejahatan, kebenaran, dan kebaikan. Pembaca, seperti karakter polisi dalam cerita, sering tidak bisa dengan mudah menentukan siapa yang salah atau benar, siapa yang jahat atau tidak jahat. Hal ini membuat sulit untuk sekadar mengkategorikan karakter sebagai protagonis atau antagonis dalam sastra yang baik.

  36. Adinda Samihah Salma_2222230012_4B_Pendidikan Bahasa Indonesia

    Gagasan Bapak tentang Budi Darma menurut saya jujur dan hangat menunjukan kedekatan sebagai pembaca yang terlihat terlibat, yang menurut saya bisa menangkap sisi khas dari karya yang tokoh-tokohnga lugu, kepo dan kadang nyebelin, Anologi pembaca sebagai “polisi” dalam cerpen Laki-laki Tua Tanpa Nama juga kuat karena cerita tersebut mendeskripsikan seperti kita terkadang bingung menilai siapa yang benar dan salah yang pada akhirnya membuat kita berpikir ulang tentang batasan moral manusia yang ga pernah benar-benar jelas.

  37. 4B_Haliza Kusuma Dewi_2222230068
    Saya setuju bahwa kekuatan cerpen-cerpen Budi Darma terletak pada kemampuannya menggambarkan manusia secara kompleks dan ambigu. Tokoh-tokohnya sulit dinilai mutlak, dan itulah yang membuat pembaca terus berpikir. Gagasan bahwa pembaca adalah “polisi” yang bingung menentukan benar atau salah sangat tepat, karena karya-karya Budi Darma memang tidak menawarkan kepastian, melainkan kedalaman.

  38. 4A_Tifara Revalina Iryanti_2222230051

    Setelah membaca esai ini, saya setuju dengan “agak sulit menilai manusia itu ada salahnya” karena saya selama mendalami sastra pun sulit sekali dan membuat saya berpikir berulangkali, sastra bukan hanya sulit dipahami, tetapi mampu membuat pembaca melihat lebih luas apa yang sebenarnya terjadi pada karya sastra yang dibaca.

  39. 4B_Tia Permata Sari_2222230011

    Sepertinya satu tahun yang lalu saya membaca kumpulan cerpen “Orang-orang Bloomington” dan menyenangkan sekali bisa mengetahui fakta-fakta mengenai penulisnya. Saya sampai mencoba baca ulang sedikit dari beberapa cerpen, untuk bereaksi “oh ternyata itu maksudnya”. Membaca ulang karya sastra yang baik- sebutan oleh Pak Arip- pastinya selalu menemukan sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui. Seperti ketika pertama kali saya membaca cerpen “Yorrick”, tokoh Yorrick itu sangat tidak saya sukai apalagi karena sifat joroknya, jadi saya sering bereaksi “ini orang kok gini banget” tapi anehnya ia bisa disukai banyak orang terutama oleh Catherine yang merupakan gadis incaran tokoh Saya. Tapi ketika membaca ulang cerpen itu, pada akhirnya saya menemukan jawaban mengapa Yorrick begitu menarik bagi semua orang dan pandangan saya pun berubah terhadapnya. Ya ini seperti pembuktian rahasia yang dibocorkan oleh Pak Arip, bahwa cerpen-cerpen Pak Budi Darma selalu mampu menciptakan kesadaran kita akan kesulitan menilai manusia itu ada salahnya.

  40. 4B_Aqilatul Lathifah_2222230076

    Setelah membaca, saya tertarik dan setuju dengan esai ini, polisi sebagai simbol pembaca yakni pembacaan yang kuat. Itu bukan cuma tafsir naratif, tapi tafsir etis. Di tangan Budi Darma, sastra bukan tempat untuk menghukum, tetapi untuk mengaburkan batas-batas mutlak antara benar dan salah, jahat dan tidak. Ini sejalan dengan teori-teori sastra modern yang menghindari kategorisasi antagonis dan protagonis secara kaku.

  41. 4B_Husna Rifdah_2222230070

    Saat saya baca buku, saya sering banget memikirkan siapa tokoh yang antagonis dan siapa tokoh yang protagonis. Padahal, ternyata sastra yang baik itu yang bisa bikin kita mengakhiri bacaan dengan mikir ulang tentang kesalahan, kejahatan, dan kebaikan. Setelah membaca tulisan ini saya jadi sadar bahwa saat membaca sastra bukan sekedar menentukan tokoh yang baik dan jahat, tetapi menuntun kita untuk memikirkan dua kali tentang cerita tersebut.

  42. 4B_Tiara Melya Pirgayani_2222230066

    Setelah membaca esai ini, saya merasa ada benarnya bahwa saya terkadang bersikap seperti tokoh polisi yang digambarkan, karena sering kali menilai sesuatu secara subjektif. Sebagai pembaca, saya tidak selalu bisa memahami alasan di balik jalan cerita yang disusun oleh penulis. Setelah membaca esai ini juga, saya setuju dengan pendapat bahwa kita memang tidak bisa serta-merta menentukan siapa yang salah atau benar, siapa yang jahat atau tidak, karena mungkin saja penulis mau menampilkan sisi menarik dari karya yang dia buat.

  43. 4B_Muhamad Ferdy Setiawan_2222230056

    Esai ini terasa hangat dan jujur, tapi juga tajam dalam membaca karya-karya Budi Darma. Penulisnya peka menangkap bahwa kekuatan Budi Darma bukan sekadar pada tokoh-tokohnya yang aneh dan kepo, tapi pada caranya bikin kita ragu—soal benar dan salah, jahat dan baik. Di situ letak kehebatan Budi Darma, bikin kita sadar bahwa manusia nggak bisa dihakimi cuma dari permukaan. Esai ini nggak cuma mengulas, tapi juga mengajak untuk berpikir.

  44. 4A_Hayatuj Juhroh_2222230002

    Menurut pandangan saya, tulisan ini hanya menyentuh aspek-aspek penting terkait ambiguitas etika dalam karya Budi Darma. Selain itu, Budi Darma telah menunjukkan bahwa sastra tidak hanya sekadar narasi, melainkan juga tentang merenungkan eksistensi dan sifat kemanusiaan. Dengan demikian, kita bisa merenungkan kembali mengenai apa yang benar dan salah.

Leave a Reply