Buku ini satu dari 50 buku ber-ISBN yang akan di-launching dan dibicarakan pada Hari Studi dan peresmian Kampus Baru Institut Teknologi Keling Kumang, Sekadau, pada 4 – 5 Agustus 2024.
Menandai buku “berbobot”, 1 kg atau 564 halaman dari semua buku saya, yang pernah terbit selama ini sejak buku perdana, 1987.
Baca Tentang Penulis (Buku Ini)
Pendekatan historiografi, etnografi, dan hermeneutika. Dengan menyarikan beberapa bacaan langka, antara lain zaman prasejarah Varuna-dvipa (nama Borneo era pengruh Hindu-India) karya Blust (1967), pustaka kuna era Hindu-India, riset ke lokus bersejarah Gua Niah, Miri, dan Muara Kaman di mana terdapat situs bersejarah Prasasti Yupa, batu narit di Krayan, Museum Sarawak yang melakukan uji karbon (C-5) manusia penghuni Borneo 40.000 tahun silam, serta bacaan2 berbahasa Belanda dan Inggris.
Dibuat kronologis “sejarah Dayak”, antara lain sebagai berikut ini:
11757 : Terminologi “Dajak” pertama kali diperkenalkan oleh kontroler Banjarmasin, Hogendorph bertahun 1757 tertulis pada monografinya dalam laporan ke Negeri Belanda tentang kondisi negeri jajahan di Hindia Belanda.
Novum saya, dan Dr. Yansen, sebaliknya: Dayak yang ke luar pulau, bukan sebaliknya! Ini bisa dibuktikan dari artefak, prasasti, keramikologi, dan hasil uji-karbon oleh Museum Sarawak. Dayak dari Yunan, sangat lemah dari segi akademik dan saintifik. Kita bisa bertanya: Siapa migran pertama dari Yunan? Di mana mendarat? Mana bukti artefak/ pecinannya? Bagaimana peristiwa sejarahnya? Mana rangkaian faktanya?
Buku ini satu dari 50 buku ber-ISBN yang akan dilaunching dan dibicarakan pada Hari Studi dan peresmian Kampus Baru Institut Teknologi Keling Kumang, Sekadau, pada 4 – 5 Agustus 2024.
***
Dekat bukit Parnassos, Yunani. Ada sebuah kuil. Pada pronaos (depan pintu gerbang) Kuil Apollo di Delphi, itu. Dahulu kala tertulis: “gnōthi seauton”.
Apa makna “bahasa dewa” itu. Sangat sangat dalam. Artinya: kenalilah dirimu! Banyak pemikir tingkat dewa telah menggunakan istilah itu, dalam pelbagai konteks. Mulai dari Aeschylus, Socrates, Plato, hingga Sarah Ida Shaw daan Eleanor Dorcas Pond (1904).
Mengenal diri sendiri adalah mengenal asal usul. Terutama menyangkut silsilah, klan, etnik, bahasa, dan budaya. Karena itu, seseorang yang tidak mengenal asal usul, terutama menyangkut silsilah, klan, etnik, bahasa, dan budaya menjadi luntur kualitas etnisitasnya.
***
DARI mana kita mulai bicara, dan menulis, sejarah Dayak?
Apakah terhitung semenjak terminologi, labeling, dan pertama kali istilah untuk menyebut penduduk asli pulau Borneo itu diperkenalkan Hogendorph tahun 1757?
Atau jauh sebelumnya, ketika prasasti Yupa didirikan di Muara Kaman, wilayah Kalimantan Timur sekarang, pada pengujung abad ke-4 M?
Ataukah, sesuai dengan kaidah penelitian dan penulisan sejarah yang berdasarkan kronologis waktu; sehingga mulai dari zaman prasejarah? Sedemikian rupa, seurut dengan waktu yang dianggap sebagai tonggak yang menandai peristiwa dan kejadian yang terjadi dan dialami Dayak dari masa ke masa?
Sebelum Pembaca bertanya-tanya, Penulis lama telah merenung-renungkan hal itu. Setelah berdiskusi dengan beberapa cerdik cendikia, terutama dengan kawan-rapat Prof. Kumpiady Widen, seorang antropolog Dayak terpandang, akhirnya sistematika seperti buku ini.
Dalam “Kronologi Dayak” yang ditempatkan pada halaman muka buku ini, sebenarnya telah tersurat dengan sangat gamblang konsep itu: Masa pra, atau sebelum Tahun 1757, adalah fase di mana identitas Dayak belum dikenal untuk menyebut penduduk asli, indigenous peoples, atau autokton , Borneo, pulau terbesar ke-3 dunia yang pada masa pengaruh Hindu-India yang dikenal dengan sebutan “Varuna Dvipa”.
Baca Muzium Sarawak dan Jasanya Meneliti Uji Karbon Manusia Asli Borneo di Gua Niah, Miri
Pada Bab bab awal buku ini, kita akan banyak bertemu dan berdiskusi tentang topik ini. Hal ini penting, mengingat makin hari makin banyak terjadi bias, dan adanya dua aliran besar menyangkut asal usul, atau keaslian Dayak penduduk asli Borneo ini. Sebab ada penganut aliran lain, sebagai contoh, Sellato, Lahajir, dkk., yang meyakini dan telah menulis mengenai asal mula nenek moyang suku bangsa Dayak yang menurutnya berasal dari Yunan. Dalam Dr. Marthin Billa Kekayaan & Kearifan Budaya Dayak (2017: 33). Pandangan Lahajir ini dikutip dan dijadikan acuan oleh peneliti dan penulis luar Dayak, Maunati (2004).
Dapat diringkas di sini, mereka yang menganut aliran/ pandangan kini meybahwa asal usul nenek moyang Dayak dari Yunan, Cina. Oleh karena proses yang berlangsung ratusan bahkan ribuan tahun lamanya, kelompok migrasi dari Yunan ke pulau Borneo ini menyebar, dan terpecah-pecah.
Kelompok yang menyebar dan terpecah-pecah itulah yang diyakini oleh aliran ini “menjadi”, atau dalam proses alamiah-evolutif kemudian dikenal dan disebut dengan “Dayak”.
Adapun novum saya, dan Dr. Yansen, sebaliknya: Dayak yang ke luar pulau, bukan sebaliknya!
Ini bisa dibuktikan dari artefak, prasasti, keramikologi, dan hasil uji-karbon oleh Museum Sarawak. Dayak dari Yunan, sangat lemah dari segi akademik dan saintifik.
Baca Suku Dayak di Kalimantan Timur
Kita bisa bertanya: Siapa migran pertama dari Yunan? Di mana mendarat? Mana bukti artefak/ pecinannya? Bagaimana peristiwa sejarahnya? Mana rangkaian faktanya?
Jika tidak bida dibuktikan, dan dijawab pertanyaan itu maka: dongeng, bukan sejarah!
Di berbagai media sosial saat ini, banyak konten yang berisi kedayakan. Akan tetapi, tidak semuanya “santan” yang disajikan, melainkan banyak “ampasnya”. Berbagai kesalahan terjadi, mulai dari memilih dan menentukan sumber, mispersepsi, kekurangtahuan, misinformasi, dan lebih banyak di antaranya kurang tepat di dalam mengambil sumber yang akurat dan tepercaya.
Pada umumnya, sumber-sumber yang diambil bukan dari sumber primer, melainkan sumber sekunder, bahkan sumber yang tidak jelas kredibilitas dan integritasnya. Kemudahan yang disediakan perangkat lunak, membuat orang mudah melakukan copy paste, tidak mengecek terlebih dahulu akurasi dan keandalan sumbernya.
Demikianlah yang kita temukan hari ini video, tulisan, narasi, tentang Dayak yang bukan saja sepotong sepotong, melainkan juga bias, bahkan misinformasi.
Fakta semacam itulah yang menggelitik penulis menulis buku ini. Didorong oleh kawan-kawan antropolog, etnolog, dan peneliti “dari dalam”, seperti: Prof. Kumpiady Widen, Dr. Mugeni, Prof. Dr. Suriansyah Murhaini, Dr. Yansen TP, M.Si. Dr. Wilson, Dr. Kristianus Atok, Albertus Imas, M.A., Albert Rupinus, M.A., Ph.D., dan Moses Komala Avan yang tiada hentinya jika bertemu bertanya mengenai, “Kapan menulis sejarah Dayak?”
Baca NGAYAU: Misteri Manusia Kepala Merah (Teu Fung Theu)
Jangankan niat. Terbetik pun tidak hasrat untuk “menyaingi” The History of Java (ThoJ). Buku babon sejarah Jawa dianggap karya Thomas Stamford Raffles yang terbit tahun 1817.
Meski dianggap cukup kontroversial[1] terkait dengan konten keaslian yang “diragukan”, karya ini penting terutama dalam khasanah literasi Nusantara karena menjadi acuan di dalam sejarah Jawa dan Indonesia pada umumnya.
Hal yang berbeda, di buku Sir dan saya: pulau Java identik pulau dengan sukunya. Sedangkan buku saya, suku Dayak dan pulau bermukim sukunya, berbeda. Namun, akhir-akhir ini, banyak anak muda ingin mengusulkan, setengah maksa, wacana: Pulau Dayak.
Saya baca langsung buku The History of Java tahun 1992 di Taman Mini Indonesia Indah. Kini sudah ada terjemahannya. Tapi saya tidak pernah puas dengan sumber sekunder. Selain buku itu, untuk memperoleh gambaran menyeluruh mengenai “isi kepala” dan latar keluarga Raffles, saya juga memamahbiak buku ini. Menambah, sekaligus menyibak wawasan. Setidaknya, bisa memahami apa yang menjadi latar.
[1] Sebelumnya, saya telah mafhum bahwa sebagian (besar) karya ini hasil plagiat. Saya harus belajar dari sejarah. Historia docet. Sebab siapa yang tidak (mau) belajar dari sejarah, akan dikutuk sejarah.
The History of Java, saya kemudian mafhum bahwa karya ini sebagian adaah hasil plagiat. Raffles mengutip bulat-bulat, dan menerjemahkan, tanpa menyebut sumber karya Middelkoop. Yakni The history of Priboemi, terutama Bab 10 buku THoJ.
Tentang tindak-plagiat ini, saya mafhum dari pakar sejarah, guru, dan seorang bibliofili yang kemudian menjadi salah satu petinggi Kompas, P. Swantoro. Dalam bukunya Dari buku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu (Kepustaan Populer Gramedia, 2002) sejarawan yang diam itu menukilkan catatan penting ihwal plagiasi dimaksud.
Baca Dayak Lundayeh Idi Lun Bawang: Monografi Terlengkap yang Pernah Ada
Meski demikian, THoJ tetap sebuah mahakarya sepanjang yang pernah ada tentang sejarah Jawa. Sebuah catatan sejarah berharga dari sudut pandang penguasa waktu itu.
Hannigan juga mencatat hal yang senada. Buku master piece karya Raffles, yaitu The History of Java dianggap sebagai karya plagiat (hlm. 249). Raffles bukanlah orang yang sesungguhnya mengerjakan naskah tersebut. Ia hanya menyalin begitu saja naskah-naskah hasil jarahan dan terjemahan yang dilakukan oleh orang Madura yang dipekerjakannya.
Raffles juga memanfaatkan naskah-naskah yang ada di perpustakaan Buitenzorg. Paparan tentang Candi Prambanan dianggap sebagai kerja Mackenzie. Sedangkan paparan tentang Borobudur dan daftar candi-candi patut diduga diambil dari hasil kerja Hermanus Christian Cornelius.
Toh demikian, THoJ amat berguna. Terutama karena menyibab sejarah Jawa. Namun, menurut hemat saya, yang tepat: Sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa. Subjeknya raja, pangeran, seputar keraton, dan rakyat sama sekali tidak sebagai subjek.
Jadi, berbeda dengan sejarah Dayak yang akan saya bukukan! Benar-benar sejarah mengenai suku bangsa itu, orang-orangnya, setting (waktu dan tempat) serta peristiwa yang menjadi rangkaian fakta dalam satu kesatuan dengan pelaku dan apa yang dianggap sebagai tonggak penting.
Tentu, dalam “fussion of horizon” di mana apa yang disebut factum menyejarah dalam rentang waktu kronos (kronologi), bukan kairos. Kairos menyangkut kualitas waktu, yang telah diberi nilainya oleh si penafsir, atau penulisnya.
***