Karena Mamah dan Bi Ratih tahu memang hafal raraban bukan bakat saya, mereka tak pernah memaksakan saya untuk pintar dalam arti hafal, atau pintar dalam arti cepat menjawab, tapi pintar dalam hal-hal lain yang masih bisa mereka dukung kembangkan dari saya, di antaranya menggambar.
“Mengapa tidak, mungkin saja kamu suatu hari jadi pelukis terkenal!” kata Bi Ratih suatu hari sambil disebutnya beberapa pelukis yang ia tahu. Berat rasanya membayangkan “suatu hari nanti” itu macam apa…
Suatu hari, di saat SMP, Bibi bertanya apa sih moto hidup saya. Saya tidak segera menjawabnya sebagaimana jika beberapa teman bertanya hal yang sama.
“Masih ada yang lebih sulit dari raraban, Bi.”
“Apa?”
“Ya itu, moto!”
Meskipun Bibi memberikan beragam contoh kalimat moto yang orang lain gunakan, saya tetap tidak tahu moto saya apa. Sepertinya siapa pun orang yang menggunakan moto-moto tersebut amatlah pasti dengan kehidupan ini. Sedangkan saya merasa tidak terlalu jelas mau jadi apa, mau ke mana. Benarkah jadi pelukis suatu hari nanti, ataukah saya mau jadi pecatur, saya tidak dapat putuskan. Tapi untuk mengatakan moto saya adalah “Hidup selalu tentang kemungkinan”, rasanya itu terlalu dewasa buat dikatakan kepada Bi Ratih di saat itu.
Oya, saya pernah rengking ke-27 saat pertama masuk SMA, dan itu kelihatannya wujud dari moto saya yang tidak terlalu peduli rengking. Lagi pula Mamah dan Bibi hanya ingin saya tetap belajar, baik itu belajar di sekolah, di tempat-tempat kursus, belajar berenang, mengaji, bahkan mereka juga sangat mendukung saya ikut klub Taekwondo saat SMP di Dojo IKOPIN Jatinangor bersama para mahasiswa, dan bergabung ke klub Karate Kei Shin Kan saat SMA meskipun amat sering kena cedera ringan, terutama menjelang dan setelah ajang komite. Benjut-benjut atau keseleo kadang-kadang lebih puas daripada pulang mulus. Melihat di tubuh saya ada bekas orang lain, rasanya membuat saya tidak sendirian. Apakah dalam hal-hal macam itu juga ada kalimat moto saya? Katakanlah benjut lebih baik daripada mulus tapi merasa sendiri melangkah ke suatu hari nanti?
Ikut olahraga bela diri apa pun, bahkan pernah belajar pencak silat juga di kampung, sebenarnya karena saya teramat penakut. Kalau saya diserang orang di jalanan, mungkin penyerang saya membawa pisau, mungkin tendangannya ke perut, mungkin pukulan kena mata saya, maka saya harus bisa membaca semua kemungkinan itu, dan teori bela diri apa pun memang tentang kemungkinan demi kemungkinan. Di desa saya, juga di desa sebelah saya, memang secara kebetulan dari dulu sampai sekarang banyak terjadi perkelahian antarremaja dan pemuda. Pemukulan, penyerangan, penyerbuan, keroyokan, bahkan pembacokan orang seakan sudah biasa dan bisa disebabkan masalah yang remeh sekali.
Pernah juga saya melihat istri Pak Ustaz menyerang teman sebayanya yang anak polisi. Sesama perempuan, sudah pada punya anak juga, berantem di jalan kampung. Katanya sih gara-gara si anak polisi itu lewat rumah Bu Ustaz dan tidak bilang permisi.
Pernah juga seorang bapak-bapak saya lihat menyerang kusir delman entah gara-gara kudanya berak depan bapak itu, entah masalah laten—sejenis dendam dari masa lalu mereka yang belum terselesaikan, karena saya dengar dua bapak itu dari dulu memang suka ribut. Mungkin pernah rebutan pacar, mungkin pernah rebutan batas tanah, mungkin karena soal mungkin-mungkin lainnya lagi.
Di satu pertandingan catur melawan ayah sendiri, ia bertanya mau ke jurusan apa nanti kalau saya masuk SMA. Seperti menjawab moto juga, saya diam saja. Mau bilang “Entah” juga tidak sanggup karena mengapa sih orang-orang makin sini makin mendorong saya ke “suatu hari nanti”.
Di masa-masa itu ayah saya memang ada beberapa kali mengucapkan rasa khawatirnya akan masa depan saya sehingga satu-dua kali menyarankan saya agar masuk kelas Fisika kalau masuk SMA nanti, dan karena saya lemah berpikir cepat tapi mengidolakan sains, saya pilih jalan tengahnya: Biologi saja. Itu pun tidak segera dikatakan ke ayah saya.
Dalam pikiran saya saat itu kelas Biologi itu pasti tidak IPA-IPA amat, tetapi juga bukan IPS atau Bahasa. Di bawah sadar saya pastilah ada rasa minder jika harus masuk IPS atau Bahasa, takut disebut anak bodoh, atau lebih jauhnya anak nakal meski saya tahu kadang-kadang istilah “nakal” lebih menyenangkan daripada istilah “bodoh”. Lagi-lagi karena stigma orang-orang dewasa terhadap kelas IPS dan Bahasa itu. Di antara orang-orang dewasa yang suka membuat stigma negatif pada anak IPS dan Bahasa adalah para guru sendiri kok. Sejak SMP juga saya sudah sering mendengar stigma negatif terhadap anak-anak remaja yang lanjut ke STM (sekarang SMK).
Saat saya masuk Biologi benar saja, ada beberapa guru yang jika masuk kelas menunjukkan ekspresi bahagianya, memuji ketenangan kelas kami setelah sebelumnya mereka masuk kelas IPS atau Bahasa. “Mereka itu sukanya ribut, beda sekali dengan kelas ini.” Kata-kata macam itu sangat merugikan anak-anak di kelas IPS.
Pendidikan harus tentang pengembangan potensi anak yang satu dengan lain memang tak ada yang sama, itu sebabnya dibuat beberapa jurusan atas nama perbedaan manusia satu dengan lainnya. Kalau mau disederhanakan, ributnya anak-anak IPS dan Bahasa adalah sejenis kecerdasan juga, kecerdasan yang tidak dimiliki anak-anak Fisika dan Biologi. Jika banyak anak IPS dan Bahasa suka bernyanyi-nyanyi di jam istirahat, itu bagaimana pun bakat yang jarang ditemukan di kelas Fisika dan Biologi. Dunia ini kan tidak hanya membutuhkan suara sepi, tetapi juga suara ribut. Tanpa keributan, sepi tidak berharga, dan tanpa sepi keributan juga tidak bermakna. Semua itu analog dengan kalimat “dalam setiap kesulitan terdapat kemudahan”. Tapi itu bukan moto saya, itu adalah salah satu terjemahan ayat di al-Quran.
Dan saya termasuk yang merasa tidak terlalu cocok di Biologi, tetapi masih ada cirinya untuk tidak masuk kelas IPS atau Bahasa, yakni karena saya suka dengan dunia sepi. Menggambar dan bermain catur adalah dunia saya di masa kecil sampai masa SMP.
Di saat masih SD, karena saya lebih dikenal sebagai anak yang senang menggambar, saya pernah beberapa kali mewakili sekolah untuk lomba menggambar atau melukis tingkat pelajar, dan tidak pernah menang kecuali harapan tiga sekali-kalinya pula—itu pun di tingkat kecamatan. Kegagalan-kegagalan saya dalam lomba menggambar karena dinilai terlalu berani, misalnya melukiskan jalan raya yang tembus Gunung Geulis, atau menggambar langsung dengan cat air dan cat minyak tanpa membuat sketsa pensil terlebih dahulu. Tapi apa harus lukisan dan kenyataan plek-ketiplek sama persis? Saya toh pernah melihat lukisan “Raka dan Saya” serta “Adu Ayam” Affandi di sebuah majalah, acak-acakkan begitu, dan kata Bi Ratih itu lukisan abstrak.
Ketika suatu hari dibangun Jalan Tol Panci (Padalarang – Cileunyi), saya baru masuk kelas satu SMP, ayah saya bilang: “Gambar dan lukisan-lukisan kamu mungkin akan jadi kenyataan, kelak mungkin saja Tol Panci itu akan diteruskan hingga tembus Gunung Geulis dan terlihat dari kampung kita!” Sayang sekali ayah saya sudah tidak ada saat tol Cileunyi diteruskan ke Sumedang (dimulai tahun 2020). Ketika saya menikahi calon istri di Sumedang, tol itu belum ada, tapi saya ingat di hari pernikahan itu rasanya saya sedang menembus Gunung Geulis untuk menemukan cinta di balik gunung yang secara harfiah bermakna “gunung cantik” itu. Tidak ada yang kebetulan dari gambar-gambar atau lukisan saya di masa lalu. Dan itu mungkin juga moto saya: hidup adalah gambar-gambar yang jadi kenyataan.
Selain menggambar saya juga teramat suka main catur. Berbeda dengan melukis, catur saya pernah beberapa kali juara tingkat SMP.
Salah satu adik kakek saya dari pihak ibu adalah atlet catur PJKA Kota Bandung, hari-hari pensiunnya banyak ia habiskan di rumah, meladeni tamu-tamunya dari dalam kota atau luar kota yang menantang catur. Nyaris ia tak pernah bicara kecuali dengan sepinya papan dan buah-buah catur itu.
Bibi saya pernah beberapa kali mengajak saya ke kakek yang satu itu. Mamah juga pernah beberapa kali mengajak saya mampir ke pamannya itu. Ada meja khusus buat dia dan tamu-tamunya bermain di teras depan yang sangat kurang cahaya sepanjang siang. Tapi malam hari lampu teraslah yang paling terang. Di ruang tamunya yang juga agak redup, entah berapa banyak piala catur dan beberapa lebih tinggi dari badan saya di saat itu. Piala-piala itu ditempatkan di lemari khusus dari kayu jati berukir antik.
Kalau kami datang, kakek yang satu itu tak akan sempat menengokkan kepala, bahkan menelengkan mata pun tidak, hanya fokus ke papan catur. Rambut bagian atasnya tipis, tetapi makin bawah rambutnya itu, makin ikal dan bergulung-gulung seperti sumbu kompor minyak tanah yang baru dibeli.
Tahu saya selalu ingin mampir ke rumah pamannya mereka itu, ibu saya akhirnya membelikan papan catur sampai beberapa kali karena yang sebelum-sebelumnya rusak atau banyak buah yang hilang. Ayah saya guru catur pertama saya di rumah, lawan tanding yang lumayan pemikir. Dan di rumah saya memang selalu banyak teman yang suka coba-coba memainkannya setelah saya ajari. Selain mereka suka mengacak-acak buku, mereka juga tidak pernah disiplin membereskan buah-buah catur, saling andalkan, dan akibatnya sering tercecer dan satu demi satu hilang dan akan diganti oleh benda-benda lain yang kami sepakati itu kuda, itu gajah, dan itu pion, jika sudah kebelet main.
Namun sayang sekali, karena Mamah dan Bi Ratih tak terlalu mengerti bahwa catur itu ada ilmunya, dari kelas pemula sampai kelas grandmaster, tak pernah sekalipun mereka membelikan buku-buku catur, dan untuk belajar langsung ke paman mereka yang atlet itu, rumah kami terlalu jauh. Kadang-kadang saya suka heran, mengapa ibu saya memilih suami orang kampung dan jadinya tinggal di kampung. Coba kalau memilih pacarnya yang calon dokter itu, pastilah tinggal di kota, dekat dengan rumah kakek atau adik kakek yang pecatur hebat itu.
Saya baru membeli buku-buku catur sendiri di saat kuliah S1. Ada saja buku-buku catur itu saya temukan di pasar buku loakan di sekitar Kebon Kalapa atau Alun-Alun Bandung atau Pasar Buku Palasari. Dan semua itu bukan buku kaleng-kaleng, tetapi buku berkualitas impor dan ditulis oleh para ahli analisis catur tingkat dunia. Selain pernah mengoleksi beberapa yang berbahasa Inggris, saya juga pernah mengoleksi buku-buku catur berbahasa Rusia. Tak terlalu penting dengan bahasanya, karena saya hanya butuh rekaman koordinat—biasa disebut “notasi catur”—di buku-buku tersebut sehingga saya bisa mengulangnya sendiri.
Notasi catur seperti angka-angka atau simbol matematika, dapat dipahami secara lintas bahasa, dan menjadi bahasa percakapan mereka yang suka sepi.
Saya merasa ada langkah-langkah mesin aljabar yang menghidupi imajinasi saya: setiap langkah saya adalah suatu input yang mengarahkan saya pada kemungkinan-kemungkinan langkah lawan (output), terutama dalam langkah pembukaan, pola-polanya selalu berulang. Jika dengan aljabar saya dapat menemukan x dalam beragam ekspresinya, dalam papan catur x itu berada di dunia kemungkinan atau dalam “derajat keacakan” yang tiada terkira banyaknya, kadang-kadang malah terasa kacau. Lawan tidak hanya memenuhi harapan penghitungan, tetapi lebih banyak yang menggagalkan perhitungan. Demikian sebaliknya, saya bisa membaca hitungan lawan yang dengannya saya dapat menggagalkan hitungan tersebut. Aljabar macam apa itu? Ia bekerja di luar persamaan macam 3x – 5 = 7, karena “x” bisa saja bukan 4.
Jika itu suatu logaritma, log2 katakanlah, dan ada delapan kemungkinan langkah lawan, di pikiran saya sekonyong terbayang 2 x 2 x 2, dan artinya delapan itu tiga saja, tapi itu segera akan salah ketika lawan mengambil langkah ke-4 dan ke-5 yang tidak saya hitung. Lawan-lawan yang jagonya luar biasanya membuat kejutan seperti lawan catur paling bodoh, jauh lebih mengacaukan lagi. Mungkin itu masuk ke kemungkinan ke-16 atau ke-32. Dan saya selalu jauh berhati-hati dengan mereka yang tampak dungu itu. Mereka punya hitungan yang lain lagi. Sesuatu yang terhitung tapi kerap harus dihitung lagi dan lagi dan lagi dan lagi adalah mesin aljabar catur yang tak kunjung saya kuasai sampai sekarang.
Kerap juga saya berpikir catur itu bukan hitungan pasti, tetapi kumpulan kemungkinan, dan setiap langkah selalu mengandung derau yang harus ditembus sinyal paling kuat—jika menggunakan rumus S/N-nya Claude Shannon—karena mungkin begini dan mungkin begitu. Dan sinyal paling kuat itu belakangan lebih saya percaya sebagai intuisi, bukan ketatnya saya berpikir. Input dan output tak pernah selamanya berada di dalam arena langkah-langkah yang pasti itu, tetapi di dalam arena matematika itu sendiri, arena kebanyakkemungkinannan langkah sehingga dalam hal ini matematika malah tentang ketidakpastian. Bayangkan jika permainan catur dikerjakan oleh 11 lawan 11 seperti sepak bola. Sendiri lawan sendiri saja—jika saya mencoba mengoreksi notasi para grandmaster—saya bisa menghasilkan banyak kekacauan.
Tapi siapa manusia mau hidup tanpa rasa kacau? Tidak dengan catur, dengan hal-hal lain kita masing-masing mempersulit diri juga—”sudah jelas barbel itu berat masih diangkat-angkat” (menurut peribahasa saya). Mempersulit diri ternyata untuk kebahagiaan kita masing-masing. Matematika, catur, olahraga bela diri, melukis, adalah beberapa kesulitan yang menyenangkan dan mungkin saja tidak ada gunanya selain membuat kita senang tanpa harus berpikir mengapa dalam kesulitan ada kebahagiaan.
Mungkin juga moto saya adalah itu: hidup memang berakit-rakit ke hulu… Tapi ah itu kan peribahasa yang sudah basi.
Seingat saya kita semua tidak pernah mencari kesulitan untuk kesulitan, tapi sangat mungkin mengejar-ngejar kebahagiaan untuk kelak susah, kesepian, dan kehilangan kemungkinan, sehingga orang terbodoh dalam matematika masih lebih pintar daripada mereka yang gantung diri, sempat juga jadi moto saya waktu SMA.
Tapi sudahlah, biar saja saya begini, hidup tanpa moto apa pun, dan tak masalah juga jika saya orang yang tak pernah punya moto sama sekali dan selalu kagum sekaligus suka merasa lucu dengan moto-moto orang lain. Moto-moto yang bikin mual adalah moto-moto yang aljabar rendahan banget. Mereka hanya para pengguna formula yang tidak mudah menjawab hal-hal di luarnya, yakni hal-hal yang berada di “suatu hari nanti”, suatu langkah yang baik lawan maupun diri sendiri tak pernah bisa perhitungkan dengan cermat. Kita adalah rangkaian kegagalan yang teralirkan ke penundaan-penundaan kemungkinan.