Etika Mengutip dan Mengolah Sumber dalam Menulis agar tidak Plagiat

Era digital saat ini memudahkan siapa pun untuk mengutip dan melakukan parafrasa sumber tulisan dengan cepat. Meskipun kemudahan ini memberikan keuntungan dalam akses informasi, tantangan etika muncul seiring dengan mudahnya proses ini.

Perlu diakui bahwa mengutip dan parafrasa adalah praktik umum dalam dunia ilmiah. Namun, cara di mana hal ini dilakukan dapat mencerminkan integritas seorang penulis.

Etika mengutip dan menggunakan sumber

Salah satu masalah etika yang muncul adalah kejujuran penulis terkait dengan sumber yang ia kutip. Apakah penulis mengutip dengan benar, atau justru memanipulasi informasi agar sesuai dengan narasinya?

Baca How to Avoid Plagiarism : Kiat Menghindar Plagiat

Permasalahan ini menggarisbawahi pentingnya kejujuran dalam menjalankan proses penulisan. Sebuah kutipan seharusnya tidak hanya dianggap sebagai pelengkap, melainkan sebagai bagian integral dari tulisan yang memperkuat dan memberikan dukungan pada argumen yang diusung.

Dalam dunia ilmiah, transparansi mengenai sumber kutipan menjadi krusial. Penulis harus dapat memberikan referensi yang akurat dan lengkap sehingga pembaca dapat mengonfirmasi informasi yang disajikan.

Oleh karena itu, penulis perlu memahami bahwa mengutip bukanlah sekadar formalitas, melainkan tanggung jawab etis untuk memberikan pengakuan yang layak pada kontributor asli.

Baca Autoplagiat

Selain itu, meskipun parafrasa adalah keterampilan yang berguna untuk merangkai ulang ide-ide, penulis perlu memahami batas etika dalam melakukan parafrasa. Menyalin teks tanpa memberikan kredit pada sumbernya dapat dianggap sebagai plagiat, yang merupakan pelanggaran serius dalam dunia akademis.

Oleh karena itu, penulis perlu memastikan bahwa keterampilan parafrasa mereka tidak mengorbankan integritas dan etika penulisan.

Dalam mengatasi dilema etika ini, pendekatan yang holistik dapat diambil. Pendidikan tentang etika penulisan dan pengutipan seharusnya menjadi bagian integral dari kurikulum akademis.

Selain itu, pengembangan alat deteksi plagiarisme yang lebih canggih dan efektif dapat membantu mengurangi pelanggaran etika ini.

Dengan memahami bahwa mengutip dan parafrasa bukan hanya keterampilan teknis, melainkan juga tanggung jawab etis, penulis dapat menciptakan lingkungan akademis yang lebih transparan, jujur, dan menghargai kontribusi intelektual orang lain.

Nihil novi sub sole

Jujur, tidak ada seorang pun penulis –meski profesor– tidak mengutip sumber. Ada banyak tujuan manfaat mengutip sumber, selain memperkuat gagasan dan mengafirmasi gagasan/ temuan kita; juga mengutip sumber untuk menambahkan atau membarui.

Tidak ada sesuatu yang baru di atas muka bumi (di bawah matahari). Adagium terkenal ini pun berlaku dalam dunia ilmiah, termasuk dunia kepenulisan kreatif. adalah: nihil novi sub sole.

Baca Dum Spiro Spero

Tidak ada yang baru, dalam arti segala yang ada di jagat raya ini sudah diberikan Allah sebagai karunia kepada makhluk-Nya. Banyak hal yang belum diketahui manusia, sehingga untuk itu, diperlukan akal budi untuk memahami dan mengenalnya. Lahirlah ilmu pengetahuan dan teknolog sebagai upaya sistematis dan diakletis manusia di dalam upaya mencoba memahami dan menyelami rahasia semesta.

Mengutip dan mengolah sumber

Mengutip dan mengolah sumber agar tidak plagiat mengenal berbagai cara atau gaya. Setidaknya, dikenal lima cara atau gaya dalam mengutip sumber yakni
1) Harvard Citation Style
2) Chicago & Turabian Style
3) MLA Style
4) British Standard (numeric) system
5) Oxford Referencing System

Kelima cara atau gaya mengutip dan mengolah sumber ini berbeda satu sama lain, meski jika titilik dari substansi atau kelengkapan informasi dan data yang disajikan pada hakikatnya sama saja. Oleh karena itu, semestinya tidak ada alasan untuk fanatik atau mengharuskan menggunakan dan menerapkan salah satu gaya.

Yang ada hanyalah kebiasaan atau kekonsistenan di dalam penerapannya. Sering latar belakang pendidikan dan tradisilah yang membuat seseorang menganut salah satu gaya. Akan tetapi, manakala ia bergabung dalam komunitas atau masuk dalam tradisi tertentu hendaknya menyesuaikan dengan gaya yang dianut. Tidak perlu bersikukuh dengan gaya yang sudah pernah diterapkan sebab gaya bukanlah substansi itu sendiri, substansinya ialah kelengkapan data dan informasi yang disajikan.

Ciri-ciri dan contoh masing-masing cara atau gaya dalam mengutip sumber akan dibahas pada bab tersendiri.

Kiat tidak plagiat

Plagiat dalam dunia ilmiah tidak dapat dibenarkan. Sebab, plagiat adalah tindakan mengingkari kejujuran. Padahal, kejujuran dalam dunia ilmiah adalah harga mati, tidak bisa ditawar-tawar.

Meski demikian, masih saja kita menjumpai bukti, insan akademik melanggar kaidah tadi. Di sebuah perguruan tinggi negeri terkemuka di Jogja, seorang dosen langsung jatuh pamor dan harganya, gara-gara menjiplak karya ilmiah orang lain, menulis namanya sebagai penemu dan pembuat, padahal sebagian besar karya orang lain. Lagi pula, cara-cara yang ditempuh kurang etis, sehingga berujung pada sanksi sosial dan sanksi pidana.

Baca Cogito, ergo sum

Tidak berarti plagiat lalu menjadi momok bagi seseorang untuk tidak mengangkat pena sama sekali. Berkaitan dengan dunia tulis-menulis, lebih-lebih menulis ilmiah, bolehkah penulis mengutip sumber luar yang sekiranya mendukung atau membenarkan ide-ide dan hasil temuannya?

Boleh sekali! Malah sangat dianjurkan. Yang penting, penulis jujur pada sumber. Sumber yang digunakannya sebagai rujukan/referensi, atau bahan yang diolahnya menjadi tulisan, hendaknya disebutkan dengan jujur (bagaimana mengutip sumber, akan dijelaskan pada bagian tersendiri).

Mengutip tanpa menyebut dengan jujur sumbernya, dapat diseret ke meja hijau dengan dakwaan pelanggaran terhadap Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Sebagai penulis, kita perlu mafhum soal Hak Cipta, sehingga terhindar dari perkara pidana.

Pasal 15 butir a Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002, menegaskan hal yang berikut ini,

“Dengan syarat bahwa sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan, tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta: penggunaan Ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta.”

Asalkan jujur pada sumber, tidak ada masalah seoramh penulis mengutip sumber lain, baik untuk mendukung hasil temuannya, maupun untuk mengembangkan ide-idenya.*)

Share your love
Avatar photo
Masri Sareb Putra
Articles: 731

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply