Meskipun saya termasuk dalam golongan pembenci hafalan raraban (perkalian 1 sampai 10 itu), buku-buku bacaan yang pertama kali mempengaruhi saya sejak sebelum SD adalah buku-buku matematika yang pertama-tama saya pahami sebagai buku-buku bergambar. Bahkan jika pun buku tersebut adalah “buku Mamah” atau buku Pedoman Chusus bagi seorang guru, saya tetap membuka-buka untuk melihat-lihat gambar-gambarnya yang hanya tentang kotak, tentang garis, sudut-sudut, anak panah, kotak polos dan kotak berarsir, kumpulan titik-titik, lingkaran. Gambar-gambar di jilid-jilidnya paling saya suka, ada gambar kapal laut, traktor, pesawat terbang, mobil besar pengeruk tanah, juga ada kumpulan anak-anak menari atau bermain loncat-loncatan.
Ibu saya mantan guru SD di sekolah saya sehingga di rumah memang banyak buku pelajaran yang disebutnya “buku P dan K”. Barang-barang orang tua apalah yang dapat saya main-mainkan dengan bebas selain buku-buku, karena itu tidak berbahaya. Ibu saya terlihat tenang jika saya sudah bermain-main dengan buku, bisa membuatnya jongjon (merasa aman) menjahit.
Mungkin juga saya pernah melakukan perbuatan “tercela” dengan buku-buku tersebut, katakanlah berdiri di atas beberapa tumpukannya, selain menyusunnya menjadi bangun tertentu macam rumah-rumahan tempat mainan-mainan kecil seperti mobil-mobilan merasa punya garasi.
Sejauh saya teralihkan dari pesona jarum mesin jahit yang naik turun, ibu saya pasti merasa saya ada dalam situasi jauh dari bahaya. Lebih-lebih karena memang pernah terjadi jempol saya masuk ke celah sepatu jarum mesin jahit setelah saya angkat (mencontoh ibu saya), dan tersusuklah kuku saya dengan jarumnya hingga tembus ke bagian paling perih di bawahnya. Ibu saya tentu trauma dengan kejadian tersebut meskipun pelakunya saya sendiri, bukan ketika ia sedang menjahit.
Kelak saya tertawa melihat buku Maurice Sendak Where the Wild Things Are yang tokoh anak di dalamnya (Max) berdiri di atas tumpukan buku untuk menjangkau titik yang lebih tinggi di dinding. Tertawa teringat masa kecil saya yang kurang lebih pernah se-“tercela” itu. Bedanya saat itu saya lebih sering berkostum superman daripada serigala macam Max.
Sebelum saya masuk ke SDN Sukamulya, saya masih suka ikut-ikut Ibu ke sekolah. Duduk di ruang guru dan senang digodain para guru, mereka baik-baik dan sayang kepada saya. Kadang ikut ke dalam kelas dan digodain anak-anak kelas enam. Kadang-kadang ibu saya memimpin senam SKJ, dan saya makan cilok di warung Mak Encir dan menonton anak-anak sekolah itu bersuka-ria. Oya, cilok di masa itu tidak berbentuk bulat, tetapi balok sepanjang tusukan bambu, seperti es krim bertusuk kayu.
Beberapa minggu sebelum saya masuk SD, ibu saya sudah pindah mengajar ke SMPN Rancaekek. Maka membayangkan pergi ke sekolah, betapa kesepian tanpa ibu sendiri. Sedangkan Bi Ratih yang mengasuh saya itu, adik Mamah, adalah calon guru juga sehingga tiap sadar bahwa ia akan makin jarang bertemu saya kalau sudah jadi guru, saya mulai merasakan ancaman kesepian dobel: ibu jauh di SMP kecamatan, bibi akan lebih jauh di kotamadya.
Kelak Bibi benar-benar menjadi guru SD di kotamadya dan pensiun dengan jabatan kepala sekolah untuk dua sekolah dasar sekaligus. Saya juga tidak tahu mengapa langka sekali guru SD yang memenuhi syarat sebagai kepala sekolah, atau kalaupun ada yang memenuhi jarang yang mau. Paling tidak mungkin karena jabatan tersebut alih-alih prestisius malah terasa sebagai beban administratif paling puncak. Hanya perempuan terhebat dan terkuat, yang bisa mengurus dua sekolah sekaligus. Bahkan jika bibi saya itu diminta jadi Menteri Pendidikan Dasar, dia masih bisa.
Ibu saya mengajar matematika dan bahasa Indonesia di SMPN Rancaekek dan bertahun-tahun sebelum pensiunnya menjadi Kepala Perpustakaan sekolahnya. Biasanya di hari Minggu, meski tidak tiap Minggu, Ibu mengajak saya ke perpustakaan untuk menemaninya membereskan buku-buku. Jabatan Kepala Perpustakaan tersebut dimulai sejak saya masuk kelas dua SMA Biologi (1994), dan main ke perpustakaan SMP sama artinya dengan berburu buku-buku bacaan, khususnya kumpulan cerpen berbahasa Sunda atau Indonesia, atau novel-novel yang antara lain adalah karya-karya Budi Darma.
Baik ibu saya maupun bibi saya tidak pernah mengajari saya menghafal raraban sepanjang saya SD. Para orang tua mana yang tidak tahu bakat anak-anaknya, dan mereka tahu saya agak lemah mengingat, tapi senang dengan buku-buku dan gambar-gambar. Karena itulah mereka lebih banyak memperkenalkan bermacam gambar, baik dari buku, maupun gambar-gambar yang mereka buat sendiri, atau dari bermacam majalah.
Entah berapa ribu kali Bibi atau Mamah membuatkan gambar bintang, rumah, pohon, binatang-binatang, mobil-mobilan, yang bersamaan dengan itu diam-diam mereka terangkan jumlah gambar-gambar itu dengan cara mencacah. Maka dari kecil juga matematika pertama-tama hadir sebagai dunia yang dapat dicacah, jauh sebelum saya mengenal bilangan cacah itu sendiri (0, 1, 2, 3, dst.), jauh sebelum ayah saya menjelaskan bilangan cacah itu tidak bisa mengukur dengan akurat.
Bilangan cacah itu kata Bibi tidak ada ujungnya selain tepi kanan dan tepi bawah buku tulis saya. Kalau tepi kanan buku tulis saya sampai ke Mesir, ya sampai ke Mesir juga bilangan cacah itu.
“Kalau sampai ke langit?” tanya saya.
“Ya, di langit juga batasnya,” jawab Bibi.
Buku-buku pelajaran yang mereka berikan tersebut pertama-tama saya pahami sebagai buku-buku bergambar juga karena setiap halamannya berisi gambar-gambar hewan, pohon, kendaraan, buah-buahan, dan benda-benda lainnya selain gambar-gambar kaku di buku-buku Pedoman Chusus itu.
Saat sebelum dan saat saya baru masuk SD ibu saya juga kepala sekolah Taman Kanak-Kanak PGRI di desa sebelah desa kami. Sekalian mengontrol TK, sekalian juga mengantar saya belajar di TK tersebut, hanya sampai kelas Nol Kecil. Rasanya malah tak sekolah-sekolah amat, maka disebutnya saya ini “Si Anak Bawang”. Kalau Mamah tidak pergi ke TK, saya juga tidak belajar ke TK. Kalau bibi tidak ada di rumah, saya benar-benar hanya diasuh buku-buku dan seorang pembantu—orang kampung yang membuat saya selalu kelimis karena dia senang menyisir dan meminyaki rambut saya, serta membuat saya berani makan sepah hingga mulut dan gigi dan ludah saya menjadi merah seperti terkena pewarna sirup.
Saya tidak sempat menikmati tahap Nol Besar karena pingin segera masuk SD, dan tidak mau ditinggal teman-teman saya yang lebih setahun umurnya. Meski ada juga rasa sedih setibanya di SD, ingin kembali ke TK saja, karena di SD tidak lagi ada mainan-mainan susun kayu. Bahkan tidak ada kapur-kapur tulis berwarna. Dunia saya berubah cepat sekaku gambar-gambar di buku-buku Pedoman Chusus.
Bibi biasa menyebut buku-buku pelajaran matematika pertama yang saya baca tersebut dengan istilah “buku P dan K” juga. Saya tahu semua itu buku-buku pelajaran menghitung, penjumlahan dan pengurangan, tetapi saya hanya suka gambar-gambarnya karena saya selalu bisa mencontohnya dengan mudahnya: gambar empat ekor gajah—tiga polos satu hitam, tiga buah mobil—dua polos satu hitam, empat gambar bintang—dua hitam dua terang, dll.
Salah satu buku matematika sering saya tiru gambar-gambarnya adalah buku yang berwarna oranye. Sebenarnya itu buku untuk siswa kelas satu SD, tapi sayang sekali hanya memuat lima halaman gambar penuh. Makin jauh halaman, makin hilang gambar, dan tinggal angka-angkanya yang tidak asik lagi untuk dipandangai. Saya tidak mengerti mengapa harus buku kehilangan gambar, dan belum mengerti juga dengan cara mengisi titik-titik kosong di bawah perhitungan angka-angka di dalamnya, dan Mamah atau Bibi tidak akan menjelaskan semua itu kecuali sedikit saja yang kira-kira dapat saya mengerti.
“Kalau cara mengisi titik-titik yang ini, Bi?” tanya saya.
“Nanti juga diajari di sekolah,” kata mereka.
Tetapi ada buku lain yang sering mereka sebut-sebut “Buku Wirasto”, rupanya buku yang pernah mereka baca dan dikarang oleh Wirasto. Saya tidak pernah melihatnya di saat itu. Nama tersebut sering terdengar dari mereka selain “buku Nasoetion” jika keduanya sedang menghadapi saya dan menggambarkan sesuatu, macam segitiga dan gabungannya yang mereka bilang “jajaran genjang”.
Saya suka diminta Bibi menghitung berapa jumlah segitiga kecil di dalam segitiga besar, dan itu tidak semudah menghitung dua segitiga dalam jajaran genjang. Tapi itu sangat seru, seperti tebak-tebakkan. Saat itu pula saya mulai melihat gambar piramida Mesir dengan gabungan empat segitiga dan mulai mengenal nama Firaun dari cerita-cerita Bibi (dan tidak menyangka anak cikalnya nanti, adik sepupu saya, jadi guru di Mesir dan dapat jodoh di Mesir juga—oh hidup betapa tak disangka-sangka).
Dalam menggambar bentuk-bentuk macam itu, baik bibi maupun ibu saya agak jarang menggunakan mistar, tapi rasanya semua bentuk yang mereka buat itu benar-benar sempurna sebagai segitiga, baik di saat itu, maupun kalau saya ingat-ingat lagi saat ini. Juga gambar kotak, lingkaran, jajaran genjang, dan bentuk-bentuk lain.
Saya kira apa yang berusaha digambarkan, dengan mistar atau tanpa mistar, tujuannya adalah sama, untuk mengantarkan kita pada dunia yang sempurna, yakni bentuk yang ada dalam pikiran kita, termasuk piramida yang terdiri dari empat segitiga itu—dan hanya terlihat dua saja di depan mata dan dua lagi harus dibayangkan ada di belakangnya. Jarak gambar dan pikiran kesempurnaan dunia memang sangatlah pendek seperti jarak dari masa kini ke masa lalu yang kita tarik lurus-lurusnya untuk mendapatkan sejumlah kemudahan memahami hidup.
Kalau ingat lagi buku-buku siswa di masa kecil yang minim gambar itu, saya menduga kurikulum pendidikan matematika SD di tahun 1980-an dan sebelumnya, tidak memberi tempat pada masa transisi PAUD-SD yang pada anak-anak tertentu macam saya berlaku sangat panjang. Sampai SMP bahkan, saya masih lebih suka buku-buku bergambar daripada buku-buku dengan lambang-lambang yang abstrak. Untunglah bibi saya bilang bahwa empat jarinya sama dengan angka “4”, sama juga dengan gambar saya ditambah tiga gambar kakak-kakak saya (ini kamu, ini Susi, ini Agus, ini Peri); sama juga dengan “2 x 2”, sama juga dengan “1-1-1-1”, sama dengan “1 + 3”, dan masih banyak lambang lainnya sehingga “yang abstrak” itu sebenarnya sangat mengasikkan, karena tentang begitu banyak kemungkinan.
“Angka satu juga gambar lho, seperti jari telunjuk ini,” begitu Bibi meyakinkan saya.
Namun paling tidak menurut saya seharusnya sampai kelas tiga SD buku-buku matematika itu jangan kehilangan gambar konkret untuk menghargai masa transisi yang memanjang, karena dunia lambang itu mestilah didasari oleh kebutuhan proses menciutkan dunia, bukan mempercepat pengalihan dunia tanpa melalui transisi. Pada saatnya nanti, setelah dewasa, saya toh bisa sendiri menciutkan segala sesuatu menjadi “x” saja sebagaimana orang-orang Jawa merepresentasikan apa saja dengan “anu”.
Dan bukan karena ketakutan yang sama dengan umumnya orang bahwa ibu saya pernah beberapa kali membangunkan saya dengan pertanyaan raraban di saat saya masuk SD, karena toh ia tahu saya sudah dipersiapkan ke arah matematika sejak TK, tapi karena saya suka cerita kalau teman-teman saya sering ditanya raraban oleh ibu mereka setiap dibangunkan pagi hari. Ibu saya mungkin tahu anaknya ini ingin juga diperlakukan seperti itu agar bisa cerita ke teman-temannya: “Saya juga ditanya-tanya raraban lho sama ibu saya! Beneran!”
Belakangan saya malah sering menduga, mungkin saja “ritual tes raraban pas dibagunkan tidur” itu dilakukan sejumlah ibu agar dinilai suaminya sebagai istri yang peduli pendidikan matematika anak-anaknya. Karena sebenarnya ibu saya tak pernah menuntut saya hafal raraban apalagi sampai menghukum saya jika masih gagal menjawab pertanyaan-pertanyaan mengejutkan itu, dan beberapa ibu yang lain juga mungkin seperti ibu saya.
Yang membuat sedih para ibu mungkin satu: ada saja guru-guru SD di masa itu yang mengizinkan anak mereka boleh meninggalkan kelas di jam terakhir setelah bisa membuktikan diri hafal raraban tertentu. Misalnya, guru kelas tiga menguji raraban empat, dan jika ada anak belum bisa maka anak itu akan diminta menghafal sebentar sambil melihat salinan raraban dan tampil lagi di depan kelas. Setelah berhasil, ia dibolehkan pulang. Kalau masih tidak bisa, tinggal menangis berurai air mata sebagai cara mengemis kepada guru kelas.
Ada teman saya yang kami sebut “Si Ade Irma”, dan bukan karena rambutnya selalu dijepit, tetapi gara-gara suatu hari dites raraban, ketakutan, gugup, hingga terjatuh dan terkapar di lantai seperti Ade Irma Suryani Nasution saat tertembak di film Pengkhianatan G 30 S PKI. Dia pun saat itu jadi pahlawan kami, disuruh segera pulang dan kami disuruh Bu Guru untuk mengantarkannya. Drama macam ini sudah mulai diandalkan dengan berbagai cara oleh para murid, sebagai cikal bakal akal bulus cari selamat dari peluru matematika.
Memang harus kita refleksi ulang semua itu, dan bertanya: apakah pengetesan-pengetesan yang menciptakan rasa tegang tersebut benar-benar pendidikan matematika atau teror matematika? Matematika bukannya menyenangkan, tetapi sebuah ancaman, ketegangan, ketakutan, bahkan sebuah cara untuk merendahkan manusia sejak masa mereka masih kecil tersebab sedari kecil juga tertanam rasa bodoh. Masa transisi PAUD-SD saat itu—apakah juga sekarang?—mengapa harus berisi hal-hal yang lebih menakutkan dari film-film hantu yang diperankan Suzzanna macam Sundelbolong, bahkan bisa saja dibayangkan amat mencekam bagai film Pengkhianatan G 30 S PKI.
Saya ingat kalau saya gagal, teman-teman saya yang duluan keluar akan mengolok-olok saya di luar kelas. Ada yang menarik mulutnya dengan kedua jari, ada yang menjulurkan lidah, ada yang akting menangis, ada yang joget-joget, ada yang cekikikan seperti Sundelbolong, dan ada tingkah-tingkah menyebalkan lainnya. Begitu banyak cara mereka lakukan untuk menambah penderitaan sesamanya. Bahwa kami di masa umur 40-an mulai menjadi bagian dari netizen yang suka ikut meramaikan derita dan aib orang lain, itu akibat pendidikan matematika maca kecil juga.
Dan saya akan merasa kasihan tidak tertahankan jika melihat teman lain masih terjebak dalam kelas gara-gara masih gagal dan gagal, tapi kadang-kadang saya juga terbawa yang lain ikut-ikutan mengolok-olok teman yang masih tersandera hafalan raraban.
Peristiwa-peristiwa macam ini bagaimana pun tersimpan dalam memori sosial kami, sehingga sampai besar nanti kami tetap menyebut si A pintar, dan si B bodoh, padahal ukurannya adalah hafal raraban. Di masa sudah pada punya anak, si A merasa diri pintar meskipun pengangguran dan suka menjual barang-barang mertuanya, dan si B merasa bodoh meskipun bertanggung jawab menafkahi keluarga.
Apakah matematika dipersiapkan untuk menciptakan manusia-manusia bertanggung jawab? Sepertinya mereka yang kini menjabat di berbagai lembaga pemerintahan atau nonpemerintahan adalah mereka yang dulu belajar hafalan perkalian itu, bahkan mungkin banyak di antaranya yang benar-benar hafal di luar kepala, dan begitu banyak dari mereka yang menjadi koruptor, plagiator, pelaku KDRT, penipu, juru bohong, pendukung perubahan yang tidak pro-rakyat, para pemain drama yang terlambat membalik badan (baru balik badan setelah ketahuan mendukung status quo), penjilat kekuasaan, penghambur uang rakyat, suka posting kemewahan di atas situasi rakyat kelaparan, dan lambang-lambang kejahatan lain yang tidak dapat digambarkan secara matematis. Metafora “hafal di luar kepala” itu sebenarnya mengandung makna isi kepalanya sendiri memang tidak dipakai, maka lebih baik kita hafal di dalam kepala.
Apakah mereka dapat dilambangkan negatif? Tidak. Negatif itu bernilai negatif dan bagian penting dari matematika. Mereka itu tidak punya nilai sama sekali. Apakah mereka irasional? Tidak juga, irasional itu tentang keindahan angka tak berbatas dalam matematika. Pokoknya tak ada lambang matematis untuk mereka. Matematika terlalu suci untuk siapa pun yang kehilangan kemanusiaan. Gambar-gambar matematika seperti lingkaran, segitiga, kubus, jajaran genjang, prisma, kerucut, tabung, semua itu betapa indahnya; dan Sundelbolong jauh lebih baik daripada mereka karena hantu tersebut masih menuntut keadilan dan bukan penghilang keadilan.
Pasti ada yang salah dari masa lalu pelajaran matematika, yakni menciptakan perasaan pintar, dan dari perasaan pintar menciptakan perasaan berkuasa, dari perasaan berkuasa menciptakan kebenaran versi dirinya dan kelompoknya masing-masing. Kata orang salah, mereka bilang benar. Kata orang benar, mereka melambung jadi Firaun. Kata orang Firaun, mereka malah menantang Tuhan.
Kata ibu dan bibi saya, Firaun itu memanah ke arah langit, di atas tangga yang tinggi sekali, lebih tinggi dari puncak piramida tertinggi. Kesombongan adalah puncak dari segala kejahatan, dan waktu kecil saya juga suka sombong jika kebetulan hapal raraban yang diujikan guru. Sejak di masa transisi PAUD-SD jugalah sudah berkali-kali saya jadi Firaun kebetulan. Yang penting tidak jadi Firaun betulan.