Tentang hafalan perkalian satu sampai sepuluh itu dulu di Bandung dan sekitarnya biasa disebut para orang tua dengan istilah “raraban”, dan umumnya mereka sangat percaya hafal raraban adalah kunci pertama memasuki matematika. Sejak kelas satu SD, kami sudah diajarkan menghapal raraban. Makin tinggi kelas, makin tinggi pula raraban yang harus dihafal.
Kalau tidak salah, kelas satu itu sekurang-kurangnya sudah harus hafal raraban dua sampai raraban empat.
Cara guru kelas mengajarkan hafalan raraban, biasa dengan mengulang-ulang bersama, dan dengan intonasi setengah bernyanyi. Alih-alih mengerti polanya, sebenarnya mungkin karena nyanyian itu maka sebagian bisa menghafalnya dengan cepat. Kadang-kadang nyanyian raraban itu dibawa-bawa beberapa teman saat kami sedang bermain kelereng, loncat karet, catur, berenang di sungai, atau menaklukan hula-hoop rotan.
Tidak hanya orang tua sendiri yang suka menguji hafalan perkalian tersebut, tetapi juga uwak, bibi, paman, kakak, teman kakak, teman bibi, teman orang tua, kakek, anak buahnya kakek, tetangga, saudaranya tetangga, saudara jauh, bahkan tak jarang orang dewasa yang baru kenal bisa coba-coba bertanya berapa tujuh kali tujuh, misalnya, kepada anak yang baru hafal raraban empat.
Kandang-kadang pengujian liar tersebut modus belaka, mengingat belum tentu orang-orang dewasa yang melakukan juga hafal, hanya akal bulus untuk bisa kenalan dengan kakak si anak sekolah, atau memang itu sejenis penyakit sosial yang tular-menular. Tidak banyak orang dewasa menyadari hanya sedikit anak kecil yang hafal, dan jika mereka bertanya pas pada anak yang tidak hafal, anak itu akan merasa diri bodoh di depannya, bodoh di hadapan dunia.
Dan yang paling menyebalkan lagi tak jarang dari orang-orang dewasa itu yang tak merasa puas dengan jawaban si anak. Pernah misalnya saya naik kereta bersama Bi Ratih yang waktu itu masih gadis, lalu ditanya orang asing di kereta dan saya kebetulan bisa menjawab raraban lima yang diloncat-loncat. Setelah itu dia mengeluarkan permen dan menantang saya ditanya raraban enam yang saya masih suka salah-salah. Sudah jelas saya banyak salah, dia masih bertanya beberapa sampai ke raraban tujuh, lalu delapan. Dan dia tertawa-tawa senang tiap kali saya salah. Mau ngasih permen saja mesti ada perpeloncoan dulu. Itu sangat menjengkelkan dan mungkin saja bibi saya bukannya jadi suka, melainkan ingin menampar si orang menyebalkan itu. Kini saya berpikir pengetesan liar macam itu termasuk dalam perundungan anak dan sudah seharusnya dilarang undang-undang perlindungan anak.
Lebih jauh dari itu, raraban juga sering dipandang sebagai kunci untuk segala hal. Bodoh raraban, maka bodohlah dalam semua urusan. Tak peduli seorang anak pandai menggambar atau menyanyi, atau hafal surat-surat pendek al-Quran berikut Dasa Darma Pramuka dan Pembukaan UUD ‘45, atau cakap dalam membaca puisi dan berani menjadi pemimpin barisan kelas saat upacara; tak peduli anak itu dokter cilik serta termasuk bagian dari paskibraka sekolahnya dan paling kuat makan cabe bareng gorengan; tak peduli dia anak ustaz atau guru atau Kepala Telkom; tak peduli dia tidak cengeng saat disuntik vaksin, jika dia belum menguasai raraban, anak itu masih belum terhitung pintar. Dan sebaliknya, anak yang terhitung jahil, tak peduli pernah mencuri sandal di masjid berapa kali, tak peduli sering mengintip orang mandi dan mengibaskan rok anak perempuan, tak peduli ayahnya terhitung ustaz cabul, tak peduli berapa sering suka menempelkan permen karet ke pantat orang, tak pernah berbagi jajanan alias pelit; anak jawara, pernah memukul sesama jenis atau lawan jenis; malas-malasan salat, mengaji, apalagi puasa; suka mencoreti tembok dan bangku sekolah; sejauh dia hafal raraban, dia akan dibilang pintar, cerdas, bakal jadi juara kelas, termaafkan semua kesalahannya, bahkan mungkin juga disebut anak saleh dan bisa masuk Sorga dengan tiket raraban. Dan sebenarnya sampai sekarang juga masih lumayan banyak orang dewasa yang berpikiran begitu—raraban adalah dasar matematika dan matematika adalah dasar segala kepintaran (bahkan kesalehan)—mengingat sisa-sisa mitos ilmu seperti sisa-sisa mitos lainnya, sulit berganti dengan penalaran baru yang mungkin saja masih merupakan bagian dari matematika itu sendiri atau boleh jadi jauh lebih baik dari tradisi menghafal.
Lagi pula, meskipun pandangan terhadap raraban tersebut sangat mengakar di masyarakat Bandung dan sekitarnya (sejauh yang saya alami, entahlah di wilayah lain), sebagai alat ukur kecerdasan anak-anak yang paling diagungkan, saya tidak dapat pastikan bahwa dengan demikian orang-orang Bandung itu sangat pintar dalam matematika disebabkan sejak kecil dipaksa lingkungannya untuk hafal. Mungkin malah sejak sekecil itu mereka yang sulit hafal raraban telah menerima pendidikan yang merugikan secara psikologis: menciptakan rasa rendah diri sehingga bakat-bakat lain yang harusnya tumbuh-kembang seperti menari, melukis, bernyanyi, membaca puisi, terkena imbas untuk tidak menonjol akibat merasa bodoh.
Salah satu bukti dari ketidakberhasilan sistem pendidikan mitos raraban tersebut adalah saya sendiri. Sampai sekarang saya jamin saya hanya bisa menjawab tes raraban sampai perkalian lima saja. Lewat dari lima, pasti saya akan banyak ngahuleng (berpikir dan setengah bingung) terlebih dahulu sebelum menjawab meskipun pernah belajar dasar-dasar ilmu ukur dari ayah saya sehingga dari kecil sudah bisa membuat kandang ayam dan layang-layang sendiri sebelum kelak bisa membuat lemari dan hal-hal lain yang lebih rumit.
Di waktu kecil, saya lebih suka belajar perkalian dengan Bi Ratih, dan ia tak pernah mengajarkan nyanyian membosankan itu (hafalan raraban).
“Berapa tiga dikali tujuh?” tanya Bibi.
Jawaban termudahnya adalah “Sama dengan tujuh dikali tiga!” karena untuk menjawab dua puluh satu dengan cepat tidaklah mudah, dan Bibi akan bilang: “Benar!” karena ia mengajarkan saya perkalian berapa kali berapa hasilnya pasti sama dengan menukar posisinya.
“A kali B, pasti hasilnya sama dengan B kali A!”
a x b = b x a, maka
3 x 7 = 7 x 3
“Berapa tiga dikali tujuh dikali lima?”
“Panjang sekali!”
“Berapa?”
“Tiga dikali tujuh dulu, baru dikali lima!”
“Benar!”
“Oya?”
“Atau tujuh dikali lima dulu baru dikali tiga!”
“Benar!”
3 x 7 x 5 = (3 x 7) x 5, atau
3 x 7 x 5 = 3 x (7 x 5)
Mungkin sejak saya kelas tiga, bibi saya mulai mengajarkan a x (b + c) yang ternyata sama dengan a x b ditambah b x c. Itu ia buktikan dengan rumus “U” lagi. Ada dua puluh delapan titik yang dibuat empat baris, masing-masing tujuh titik. Sebenarnya itu tentang 4 x (5 + 2), dan kami membagi titik-titik itu di kiri empat baris lima kolom (4 x 5), di kanan empat baris dua kolom (4 x 2). Ketika kami dapatkan jumlah kiri dua puluh titik dan kanan delapan titik, maka mudah saja mengetahui hasil gabungannya (U) adalah dua puluh delapan. Sejak itu saya mulai kehilangan gambar-gambar, paling banter hanya titik-titik atau kotak-kotak. Tetapi matematika makin menyenangkan dan terasa mengandung keajaiban. Mengapa bisa dibolak balik tetap sama, dan mengapa bisa a x (b + c) itu hasilnya sama dengan a x b ditambah b x c. Saya tidak tahu cara lainnya di masa itu, tapi rumus itu saja sudah benar-benar sejenis misteri yang tidak pernah saya dapatkan dari permainan-permainan lainnya.
Saya ingat, waktu itu Bi Ratih sangat pintar main hula-hoop rotan, lebih pintar dari ibu saya. Kalau ibu saya hanya bisa memutar lingkaran rotan itu di pinggang, Bibi bisa memutarnya juga leher dan merasa ajaib dengan benda berputar terus tak mau jatuh ke lantai. Tetapi dibanding rumus tadi, hula-hoop tak ada apa-apanya.
Semakin pandai saya membuktikan x (b + c) = (a x b) + ( b x c), semakin menyadari matematika itu seperti putaran hula-hoop untuk penjumlahan dan perkalian, bolak-balik di tempat yang sama. Tapi apa yang sudah terasa puncak di rumah, tak mudah dibawa ke sekolah.
Di kelas tiga itu saya sudah diajarkan perkalian menurun oleh guru kami seperti tampak pada tabel berikut.
Ketika saya pecahkan dengan perhitungan rumus Bibi: x (b + c) = (a x b) + ( b x c), maka 24 itu sama dengan 20 + 4, dan 4 x 24 sama dengan 4 x (20 + 4), sama dengan (4 x 20) + (4 x 4), sama dengan 80 + 16 = 96. Sayang sekali rumus Bibi tidak populer di kelas kami sehingga langkah kerja saya diterima oleh guru tapi guru menyarankan saya bekerja dengan cara dia. Di kepala saya pun mulai ada sejenis putaran-putaran hula-hoop akibat keajaiban matematika Bibi itu mulai naik turun dan terkena tekanan cara-cara biasa, yang seperti dilakukan para pemilik warung dengan kotrétan di atas kertas kardus rokok, atau cara ayah saya menghitung perkalian luas kotak pagar besi, tralis, atau kebutuhan belanja besi dan karbit untuk membuat tangga keong (tangga besi yang dibuat memutar). Saya tidak melihat keajaiban dalam perkalian menurun, seperti melihat hula-hoop yang terjatuh dari pinggang saja. Karena saya bukan Newton, hal itu bukan inspirasi buat lahirnya teori gravitasi, melainkan suatu kegagalan yang ada lucunya.