Jakob Oetama : Change or Die

Kampus penuh kenangan, Universitas Multimedia Nusantara, pada suatu masa yang telah cukup lama.

Saya teringat akan pertiwa itu kembali. Saya mendapat kesempatan langka untuk bertemu dengan dua tokoh legendaris, Jakob Oetama dan P.K. Ojong, yang bersama-sama menciptakan Kompas Gramedia, landasan kuat pers dan sastra di Indonesia.

Baca Ojong dan Jakob: Penulis dan Guru Kami

Pertemuan itu terjadi ketika Pak Jakob, salah satu pendiri, memutuskan untuk berkunjung ke kampus kami. Saya tidak ingin melewatkan kesempatan emas ini dan segera menyusup ke ruang bincang-bincang. Dalam obrolan santai, beliau membagikan pandangannya tentang dunia media, terutama media cetak yang tengah menghadapi tantangan besar.

Change or die

“Media hari ini dihadapkan pada tantangan luar biasa,” ucap beliau sambil menatap jauh. “Bukan hanya masalah konten karena informasi yang begitu berlimpah, namun juga dari segi ekonomi dan tuntutan zaman. Siapa yang tidak mau beradaptasi dan berubah, akan mati. Change or die,” paparnya dengan tegas.

Kata-kata bijak itu sungguh memberikan pemahaman mendalam tentang dinamika dunia pers. Di tengah hiruk-pikuk informasi digital, mereka berdua, sebagai intelektual dan tokoh nasional, tetap menjaga semangat untuk terus beradaptasi dengan perubahan.

Baca “Crazy Rich”| Mengapa Orang Kaya Benaran Enggan Disebut Demikian?

Beberapa waktu kemudian, pada peresmian kampus UMN pada 2 Desember 2009, saya mendapat kesempatan untuk bergambar bersama mereka. Di lobi kampus, depan lift rektorat, ketika sejarah dan masa depan bersatu dalam satu momen. Bersama Viola Ojong, cucu dari P.K. Ojong, yang kini mengejar ilmu di bidang komunikasi di UMN, kami tersenyum penuh harap. Sebuah gambaran bagaimana generasi penerus terinspirasi oleh perjalanan dan visi yang dibangun oleh dua tokoh besar ini.

Mediamorfosis Fidler

Perjumpaan itu tidak hanya memberikan pengalaman berharga, tetapi juga menorehkan kisah tentang keberlanjutan, perubahan, dan semangat untuk tetap relevan di tengah gemerlap media modern. Mungkin seperti halnya Kompas Gramedia, kita semua perlu menjadikan moto sederhana itu sebagai panduan hidup: “Change or die.”

Baca The Flying Geese : Asal usul istilah, teori, gaya leadership, dan pertumbuhan

Peringatan Pak Jakob mengingatkan saya pada buku Fidler, 197, berjudul Mediamofrosis. Bahwa media, yang berubah itu bukan pada konten isinya melainkan pada: media yang menyampaikannya.

Nyatanya, jika tidak berubah, saya juga niscaya: die.

Saya hidup, dan mengidupi media-baru pada ketika ini. Meski konten yang jadi sajian gizi menunya: sama saja, hanya kemasannya berbeda.

Konten saya sudah terkumpul sejak puluhan tahun silam. Tinggal diolah. Dan disajikan kembali. Dalam bentuk baru.

Share your love
Avatar photo
Masri Sareb Putra
Articles: 731

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply