Kalimantan pulau kaya sumber daya alam (SDA). Satu di antara yang banyak itu adalah sumber daya energi berupa batubara.
Ironisnya, mengapa terutama di wilayah perbatasan dengan negara tetangga, Malaysia, kita krisis energi?
Dalam konteks itu, menjadi menarik mengamati Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Republik Indonesia.
Baca Blust dan Sumbangsihnya pada Prasejarah Borneo
Dalam sebuah unggahan videonya di Youtube, apa yang diungkapkannya sungguh menggambarkan apa adanya. Yakni paparannya mengenai neraca perdagangan Indonesia-Cina. Kita baru ngeh. Bahwa ternyata Indonesia berada pada pihak yang untung. Atau istilah dagangnya: neraca perdangannya surplus.
Tapi bukan itu poin kita. Fokus perhatian saya rencana Negara (Pemerintah) meningkatkan sumber energi di Kalimantan Utara. Selama ini, kita (Kalimantan) kaya bahan dan sumber energi, tapi selalu: mati listrik. Ada apa?
Suatu waktu. Saya bertemu sahabat lama, ekonom Faisal Basri. Dulu, kami sering bertemu dan berdiskusi.
Ekonom Faisal Basri.(kiri). |
Kali itu, kami bertemu di bandara Supadio, Pontianak. Sebagai sahabat, itu temu kangen. Kami saling mengekspresikan persahahatan, baik melalui kata maupun gesture. Kemudian, topik menjurus ke masalah yang dihadapi Kalimantan: Krisis energi.
“Mengapa Kalimantan kaya sumber energi, batubara misalnya, tapi selalu krisis enegeri?”
Pertayaan menohok. Sekaligus, menggugat. Ya, ya. Mengapa?
Krisis batubara di dunia dari masa ke masa menunjukkan berbagai indikator, padahal kebutuhan akan bahan bakar padat itu meningkat.
Kebutuhan energi dunia
Kebutuhan energi dunia meningkat dengan kemajuan ekonomi yang pesat sekitar 4% per tahun untuk tahun 1950-an dan 1960-an, tetapi total produksi batubara hanya 2% selama periode ini. Bahan bakar padat saat ini menyumbang tidak lebih dari 30% dari total pasokan energi dunia.
Batubara menyumbang 30% dari pasokan energi dunia, 40% produksi listrik, dan 70% bahan bakar untuk pembangkit listrik termal tradisional dan juga pemasok untuk industri besi dan baja.
Pasokan batubara untuk industri dan rumah tangga domestik mencapai hampir 40% dari pasarnya.
Konsumsi yang diprediksi hanya akan menggunakan hingga 5-10% dari modal batubara pada akhir abad ini. Harga batu bara per unit termal saat ini sepertiga dari harga minyak.
Industri batubara merupakan industri berbasis tenaga kerja terancam turun hasil produksinya di satu pihak dan meningkat biaya pengadaannya di pihak lain.
Diperkirakan permintaan batubara global akan turun sekitar 8% pada tahun 2020, penurunan terbesar sejak Perang Dunia II, dengan penurunan penggunaan batubara di hampir setiap sektor di setiap wilayah di dunia.
Di Cina, permintaan batu bara turun pada tahun 2020 sekitar 5%.
Isi perut Kalimantan: kaya dan mahal
Rupa-rupanya, Kalimantan menyimpan dalam perut buminya aneka tambang. Sumber energi, batu bara dan minyak; tersedia.
Baca Muzium Sarawak dan Jasanya Meneliti Uji Karbon Manusia Asli Borneo di Gua Niah, Miri
Sayangnya, bahan-bahan mentahnya dibawa ke luar pulau.
Dari titik-titik pusat batubara di Kalimantan, bahannya digali, dikumpulkan, kemudian dibawa melalui sungai. Rakit dan kapal tongkang siap membawanya melalui arus sungai hingga berhenti di muara-muara. Di sana, sudah ada kapal besar menunggu muatan.
Beberapa kali, saya menjumpai tongkang-tongkang membawa batubara melalui badan sungai-sungai di Kalimantan. Bunyi mesin tongkang seperti raksasa batuk. Saking sarat muatan, jalannya seperti siput.
Kesempatan itu, tidak saya sia-siakan. Saya memotretnya.
Di Sungai Barito, Kahayan, Mahakam, dan Kapuas. Lalu, setiba di muara sungai, telah ada kapal-kapal menampungnya. Dan membawanya, entah ke mana?
Banyak penambang ilegal. Beberapa legal. Tapi bedanya di mana? Jika sama-sama mengeruk sumber energi setempat, dengan rakusnya. Kemudian membawa semua itu ke luar?
Lalu di mana asas pembangunan (pertambangan) yang trickle down effect (merembes ke bawah)? *)