Ladang orang Dayak ramah lingkungan.
Itu adalah general statement (pernyataan umum, atau kebenaran universal). Mengapa? Mochtar Lubis (1978, hlmn. 9) manusia di pulau Kalimantan telah mengenal api dan teknologi berladang tradisioal sejak 10.000 tahun yang lampau.
Asumsinya: tentu penduduk yang berladang menjaga alam dan lingkungannya, bukan? Tidak mungkin Borneo tetap hijau andaikan berladang tradisional, merusak.
Jangan salah menilai!
Yang merusak alam dan bumi Borneo adalah perusahaan kayu, penebarangan besar-besaran, usaha pertambangan, dan kini: perkebunan sawit besar-besaran. Oknum itulah yang merusak alam Kalimantan. Sekaligus melakukan deforestasi. Orang Dayak menjadi kambing hitamnya.
Baca Dayak Diaspora Jakarta yang Kisah Serunya Dibungkus Buku Ini
Terutama jika terjadi kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di masa Dayak membakar lahan ladang (Juli – Agustus); pasti Dayak dituduh sebagai pelakunya. Demikian pula bencana asap, orang Dayak yang jadi tertuduhnya.
Namun, Dayak melawan! Kasus peladang diseret ke meja hijau di Sintang, Kalimantan Barat misalnya. Seluruh warga Dayak menolak dan menyatakan bahwa itu merupakan: kriminalisasi dan tindakan menghina seluruh adat, budaya, dan tradisi Dayak.
Kecerdasan Natural ala orang Dayak dalam berladang
Proses dan tata cara berladang orang Dayak yang perlu diketahui
Karena proses dan tata cara berladang arif-bijaksana yang memerhatikan hukum alam diturunkan dari generasi ke generasi, maka setiap orang Dayak wajib menjaga dan memeliharanya.
Baca Suku Dayak di Kalimantan Timur
Siapa saja yang berladang tidak sesuai dengan adat, akan kena adat. Itu sebabnya, ada ungkapan Dayak Sanggau yang sangat dalam maknanya, “Poya nyak bopugongk, adat nyak bolinongk” (alam untuk berlindung/bertumpu, adat untuk berpegangan). Tindak melanggar adat, akan dikucilkan dari komunal dan dianggap bukan-Dayak lagi.
Lalu, siapa perusak hutan dan penggundul hutan Kalimantan? Tentu saja, bukan penduduk setempat (indigenous people) yang menggantungkan seluruh kehidupannya pada lingkungan dan alam Kalimantan, tetapi para pendatang dan orang kota! Sebagai contoh, yang menggondol izin HPH dan pemilik perkebunan di Kalimantan adalah kaum pendatang dan orang kota. “Orang kota” yang dimaksudkan ialah pengusaha dari Pontianak dan Jakarta, sedangkan kaum pendatang ialah siapa saja yang perilaku dan cara hidupnya merusak alam sebagai sumber dan tumpuan penghidupan.
Yang terasa tidak adil ialah adanya selentingan yang mengatakan bahwa orang Dayak dan penduduk setempat adalah penyebab kebakaran hutan dan gundulnya bumi khatulistiwa. Malangnya, kebakaran hutan dan kepulan asap justru terjadi bulan Juli-Oktober, berertepatan dengan siklus alam (musim panas) sebagai saat yang tepat bagi orang Dayak membakar ladang.
Padahal, ribuan tahun lamanya orang Dayak membakar ladang. Dan tidak pernah menimbulkan masalah. Sebab, kearifan mengajarkan, batas ladang harus dibuat tegas, agar api tidak bisa melalap lahan di sampingnya. Kalau api dari membakar ladang sampai menyapu lahan tetangga, si empunya ladang akan membayar adat! Ada hukum adatnya khusus untuk itu.
Agaknya, karena itu, Musyawarah Adat Dayak tidak pernah lelah mengampanyekan, perusak hutan Kalimantan bukan penduduk asli. Mustahil mereka mau menggorok leher sendiri, sebab ladang adalah tumpuan hidup utama. Lagi pula, mereka hidup dan tinggal di situ. Lama orang Dayak didakwa kasus kebakaran hutan dan kerusakan lingkungan. Sampai-sampai, beberapa tokoh perlu mendukung dan menyekolahkan orang Dayak yang potensial untuk studi di bidang hukum lingkungan.
Meski demikian, asumsi bahwa orang Dayak arif bijaksana dalam hal kultivasi padi dengan cara berladang, bukan hanya sepihak. Antropolog dan peneliti Barat jauh hari sudah memberi kesaksian dan mencatatnya. Dalam literatur-literatur berbahasa Inggris, ladang disebut “staff of life” (tumpuan hidup) orang Dayak. Seperti dicatat ilmuwan dan antropolog barat, Hedda Morrison dalam bukunya yang terbit tahun 1957, Sarawak.
Ladang dan padi dalam catatan Hedda
“Padi, the staff of life,” tulis Hedda sembari menambahkan bahwa padi yang ditanam itu tumbuh di ladang-ladang orang Dayak. Orang Dayak pun dipujinya sebagai manusia yang berbudi pekerti luhur lagi arif dan bijaksana. “It is wasteful method of cultivation. When old jungle is felled the same land will produce good padi for two or three consecutive seasons but the burns destroy all protective vegetation. Heavy rains soon remove the topsoil and the fertility of the land is quickly reduced.”
Hedda sama sekali tidak melihat cara berladang orang Dayak merusak lingkungan, atau mengganggu ekosistem.
“If farming can be carried on over a cycle of about 15 years between cuts, the fertility of the soil can be maintained fairly satisfactory. But as the population increase so does the pressure on the land and the cycle may fall to ten, eight or even five years (Hedda, 1957: 45).
Baca Buku tentang Sejarah Dayak yang Mungkin kan Menyentak
Tradisi berladang, kini hanya dilakoni orang Dayak di tempat tertentu. Di mana, lahan masih tersedia dan situasi memungkinkan. Bulan Juni-Juli, saatnya ngabas poya dan menebas. Inilah mula dari sebuah siklus upacara gawai.*)