“Mungkinkah” Ala Baudelaire

Saya terpengaruh oleh karya-karya Bertrand, kata Baudelaire suatu hari, dan Bertrand itu tak ada bandingannya. Nah, kita sebut saja sejarah pengakuan Baudelaire tersebut sebagai sejarah paradoks proses kreatif penulisan abad ke-19 di Prancis. Mana ada yang inimitable dapat mempengaruhi sedangkan kita tahu yang menerima pengaruh, sedikit atau banyak, sudah melakukan peniruan (imitation).

Makanya jangan pernah kita-kita keceplosan omong dan tak sadar paradoksnya, salah-salah kita dijulidin orang dan disebut-sebut sebagai Baudelaire Jilid II.

Baudelaire sih oke, sedangkan kita terkenal tidak paradoks pula.

Dulu saya pernah membela Baudelaire: ah itu kan bukan peniruan macam artikelnya guru besar ecek-ecek itu, yang pindah dari permukaan satu ke permukaan lain itu, atau macam dokumen akreditasi Jurusan Matematika yang pindah ke Jurusan Biologi dan tinggal daur ulang. Baudelaire mengambil Bertrand secara virtuoso, jadi tak bisalah itu mesin-mesin similarity checker membongkarnya, tak bisa juga para asesor itu pura-pura tidak membaca salin-tempel yang tak selamat dari daur ulang karena memang kerja virtuoso itu intangible.

Macam apa itu? Harus dimulai oleh mimpi-terjaga dan mulailah dengan pertanyaan “mungkinkah” ala Baudelaire: mungkinkah yang terasa musikal itu dimungkinkan tanpa rima dan ritme di dalamnya? Kadang-kadang kan para ahli dan kritikus itu bicara dari yang sudah-sudah dan awam tinggal ikut-ikutan. Penyair Willy Fahmi Agiska Bandung atau Irwan Sofwan Serang kalau menulis puisi lantas tak ada rimanya, tak akan masuk buku pelajaran level mahir, madiya pun ogah, apalagi pembaca dini yang maunya bacaan multifitur beraudio karena ogah tiduran berteman sepinya buku (Mama tidur di kamar Papa).

Mengapa Baudelaire bertanya suatu soal yang sulit diwujudkan? Musikal tapi bebas rima/bebas ritma itu bagaimana, Bro Baud? Yang musikal itu, kata dia, mesti sesuai dengan gelombang lamun, yakni dorongan liris jiwa ini, dan jangan lupa olok-olok dari nurani kita sendiri. Yes, guwe suka ini! Inilah pintu masuk ke penulisan sastra humor, esai humor, biar saya jadi sastrawan dan bukan komedian stand up yang bisanya bikin orang ngakak. Humor bukan itu.

Ada arus yang tak bisa diukur dan juga disentuh, lanjut Baudelaire, namun itu yang sebenarnya membentuk pengalaman membaca dan akhirnya membuat kita jadi penulis atau apa pun yang lebih baik. Pernah kan kamu membaca dan tidak mengerti tapi merasa ada yang merasuki jiwamu? Nah, itulah Yang Musikal, tak peduli ia berima/beritma atau tidak. Jadi, membaca itu ke dalam dan menulis itu dari dalam.

Ciri kita sudah membaca dari dalam adalah, Baudelaire melanjutkan lagi, tak kuasa dengan segala kosa kata yang kita miliki untuk memberikan penilaian formal pada bacaan. Ya, paling tidak saya pernah rasakan ketika guru Bahasa Indonesia saya di SMA membacakan puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri. Tapi sayang sekali kini saya sadar puisi-puisi Bung Tardji itu amat ritmatik sehingga saya curiga dulu terpesona malah oleh ritma mantrawinya itu. Apa artinya? Mungkin saja apa yang dikatakan Baudelaire itu intinya bukan rima dan ritma juga, melainkan Yang Musikal itu, yang membuat kita diam seperti mendengarkan instrumen tanpa vokalis membawakan lirik dengan tema-tema pasaran.

Jadi, siapakah di antara kita yang terpesona Yang Musikal? Yang tak pernah jelas bicara apa tapi mempengaruhi kita? Sepertinya kita lebih sering membeli buku karena orang bilang seru deh kisahnya, begini begitu, begitu begini. Lha, kalau buku dapat diceritakan, untuk apa kita beli. Dengarkan saja dari mereka yang sudah membacanya.

Bacalah, Muhammad! Perintah Jibril waktu itu. Nabi itu bilang: saya tidak bisa membaca (ma ana bi qari). Tapi apakah paradoks juga bahwa Al-Quran itu ternyata turun dengan rima dan ritme? Mungkin kalau Yang Maha Musik itu bicara dengan bahasanya yang kehilangan musik, bukan bahasa yang disenangi manusia, kita makin gulita belaka, seperti membaca di tempat gelap.

Kita ini sudah dihabisgelapterbitterangkan oleh RA Kartini, tinggal maunya saja berpikir 2000 Watt dan jangan mudah percaya pada Syekh Malaikat yang bisa mendikte Jibril dan fasih berbincang dengan seekor semut dan kelak jadi juru selamat orang-orang Indonesia dari pekat hitamnya neraka jahanam. []

Share your love
Avatar photo
Arip Senjaya

Pemenang Literasi Terapan Lokal Perpusnas 2022, alumni Batu Ruyud Writing Camp Kaltara, dosen filsafat Untirta, anggota Komite Buku Nonteks Pusbuk Kemdikbud, sastrawan, editor. Alumni UPI dan UGM.

Articles: 28

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply