Seumur-umur, baru kali inilah (2013) saya membukukan antologi puisi. Ada sebabnya!
Seperti judul narasi. Itu sebabnya, saya tak pernah benar-benar meninggalkan puisi. Selain tidak bisa untuk move on, puisi menjadikan tulisan-tulisan saya kaya.
Baca Ars Scribendi
Meski tidak membuat saya kaya, secara materi. Malah “tekor” dari segi modal. Untuk proses menerbitkan, dan mencetak, 100 eksemplar buku KP (kumpulan puisi) ini.
Puisi: awal karier kepenulisan saya
Pada tahap awal karier kepenulisan saya, seni menulis syair dan puisi memainkan peran sentral.
Gaya kata-kata indah saya melintasi berbagai media cetak pada era 1980-an, terpampang di halaman harian Suara Indonesia, berjaya di halaman majalah Hidup, Rohani, dan berbagai platform lainnya.
Baca R/E-volusi MENULIS | Dari Bulu Ayam ke Alat Tangkap Suara
Pintu masuk puisi menjadi kunci tak ternilai bagi pengembangan karier saya; tanpa melibatkan diri dalam dunia puisi, mungkin saya tidak akan mengalami keberagaman pengalaman menulis yang membentuk diri saya saat ini.
Seiring waktu, eksplorasi kreativitas saya merambah ke dunia esai, membuka jalan bagi kisah fiksi dan non-fiksi untuk berkembang.
Kolomnis di berbagai media nasional
Pada periode 1990-2000, peran saya sebagai kolomnis di berbagai media nasional yang tengah subur memberi warna baru pada perjalanan kepenulisan saya. Pengalaman ini menjadi ladang subur untuk pemikiran dan gagasan yang semakin berkembang.
Baca Flamboyan Kembali Berbunga: Proses Kreatif Saya Mengarang Novel Perdana
Pandangan saya terhadap dunia tulis-menulis terus berkembang, dan dari sinilah saya mencapai suatu kesimpulan penting: meskipun puisi tidak selalu membawa kekayaan finansial, ia mampu memperkaya makna tulisan-tulisan saya.
Seiring berjalannya waktu, perjalanan karier saya mencapai puncak pada tahun 1984 ketika saya pertama kali berhasil menembus Kompas, menandai langkah besar dalam dunia tulis-menulis nasional.
Bathsheba: Kucinta Dia
Namun, bukan kekayaan finansial yang menjadi fokus utama saat saya menyusun satu-satunya kumpulan puisi, Bathsheba: Kucinta Dia. Proses penyiapan buku ini tidaklah singkat, dan setiap kata yang dipilih adalah suatu bentuk kesabaran.
Mengapa Bathsheba dipilih sebagai judul? Lebih dari sekadar simbol keindahan dan kecantikan dalam Perjanjian Lama, Bathsheba adalah dewi khayangan yang mencelikkan mata Raja Daud ketika turun mandi. Nama yang melegenda ini tetap terukir abadi dalam hati setiap individu yang memuja keindahan yang disimbolkan oleh wanita.
Cinta berbalut dusta nan keji
Namun, Bathsheba juga menjadi lambang casus belli (sebab perang).
Kisah ceritanya tragis. Ketika demi hasrat saya untuk memiliki Bathsheba, Salomo mengirim suaminya, Uria, ke garis depan medan pertempuran. Di garda depan perang itulah Uria menemui ajal.
Baca Pembeli dan Pembaca Novel Indonesia
Inilah kisah tragis yang kemudian memberi saya kebebasan untuk memiliki wanita yang melahirkan Salomo, raja arif-bijaksana.
Bathsheba sebagai representasi
Dalam setiap puisi, Bathsheba bukan hanya merepresentasikan keindahan, melainkan juga kompleksitas dan tragedi dalam relasi manusia, menjadikan kumpulan puisi ini sebagai karya yang memperkaya pikiran dan emosi pembacanya. *)