Mengenai pengarang atau penulisnya, preferensi dan kebiasaan mereka dalam menampilkan diri di sampul buku sangatlah bervariasi.
Sebagian pengarang mungkin cenderung mempertahankan satu foto diri yang menjadi ciri khasnya untuk seluruh karya. Sangat boleh jadi, mereka merasa bahwa gambar tersebut mencerminkan identitas mereka dengan baik atau memiliki nilai simbolis yang kuat.
Baca Puisi tidak Membuat Kaya, tapi Menjadikan Tulisan Saya: Kaya
Representasi unik diri
Di sisi lain, ada pula pengarang yang memilih untuk mengganti foto diri pada setiap buku yang mereka terbitkan. Mereka mungkin melihat setiap karya sebagai representasi unik dari diri mereka pada titik waktu tertentu.
Perubahan gambar dapat mencerminkan evolusi penulis, baik secara pribadi maupun profesional. Ini bisa menjadi cara bagi mereka untuk mengekspresikan perubahan dalam pandangan hidup, penulisan, atau tema yang diangkat dalam setiap karya.
Menariknya, tidak ada aturan baku atau ketentuan yang mengatur pilihan ini. Keputusan mengenai penggunaan foto diri pada sampul buku sepenuhnya menjadi hak prerogatif dari masing-masing pengarang.
Baca Ars Scribendi
Beberapa penulis merasa bahwa konsistensi gambar dapat membangun merek pribadi yang kuat, sementara yang lain mungkin melihat fleksibilitas dalam hal ini sebagai cara untuk mengekspresikan kreativitas dan keberagaman.
Hal ini mencerminkan keindahan dan kebebasan dalam dunia penulisan, di mana pengarang memiliki kebebasan untuk mengekspresikan diri mereka sendiri sesuai dengan visi dan gaya mereka masing-masing. Sedemikian rupa, sehingga dalam hal ini, tidak ada aturan ketat yang mengikat pengarang untuk memilih satu cara atau yang lainnya.
Baca Pembeli dan Pembaca Novel Indonesia
Setiap pengarang dapat memutuskan sendiri. Bagaimana mereka ingin menampilkan diri kepada dunia melalui foto diri pada sampul buku masing-masing.
Foto khusus buku biografi
Bagi saya, penggunaan foto bersama sang tokoh dalam biografi adalah suatu keputusan yang sengaja diambil untuk menciptakan nuansa yang lebih personal dan mendalam. Saya percaya bahwa melibatkan citra diri bersama tokoh yang menjadi pusat perhatian dalam buku biografi dapat membawa pembaca lebih dekat dengan pengalaman hidup yang diceritakan.
Baca Hiroshima : Contoh Literary Journalism Terbaik yang Pernah Ada
Foto bersama tokoh memberikan dimensi baru pada cerita hidup yang saya tuangkan dalam buku. Hal ini memberikan wawasan visual kepada pembaca, memungkinkan mereka melihat hubungan personal antara saya sebagai penulis dan tokoh yang menjadi subjek biografi.
Terkadang, gambar dapat menyampaikan lebih banyak emosi, ekspresi, atau momen khusus yang sulit diungkapkan hanya dengan kata-kata.
Saya memandang penggunaan foto ini sebagai sarana untuk menciptakan kedekatan antara pembaca dan cerita, menjembatani kesenjangan antara narasi dan realitas.
Citra bersama sang tokoh menciptakan keterlibatan yang lebih langsung, membuat pembaca merasa seolah-olah mereka ikut hadir dalam perjalanan hidup yang sedang diceritakan.
Baca 9 Tahap menuju Budaya Baca – Bagian 1
Selain itu, penggunaan foto bersama tokoh dalam setiap buku biografi juga menciptakan suatu konsistensi yang mengikat karya-karya saya. Ini menjadi bagian dari langgam khas saya dalam menyajikan kisah hidup seseorang. Meskipun penulis lain mungkin memilih pendekatan yang berbeda, keputusan ini adalah bagian dari identitas saya sebagai penulis biografi.
Penting bagi saya bahwa setiap elemen, termasuk foto diri bersama tokoh, tidak hanya menunjukkan dimensi fakta dalam biografi, tetapi juga menggambarkan esensi dari hubungan saya dengan tokoh tersebut.
Dengan begitu, citarasa yang dihasilkan dari foto bersama menjadi bagian integral dari gaya penulisan saya, menghadirkan keaslian dan kedalaman dalam setiap buku biografi yang saya tulis. *)
Keterangan gambar: foto-diri penulis bersama sang tokoh, dalam Biografi Cornelis: Motivator & Pemimpin (2021).
