Ilmu itu Cas-Cis-Cus

Ilmu itu berkembang. Tapi jangan pikir hal-hal baru itu melupa sudah yang jauh-jauh. Anda lulusan tata bahasa fungsional, saya jebolan tata bahasa well-formed, dan kita masih aktif omong-omong tentang kalimat pasif. So what? Ya, so what dengan ilmu baru dan ilmu lama! Ilmu bukan obat tetes telinga dari dokter THT yang kita pakai setetes dua tetes untuk tiga hari lalu kita simpan sisanya yang masih banyak itu sampai sebelas tahun di rak P3K. Juga bukan susu murni diperas pagi dari sapi malas lantas kadaluarsa sorenya gara-gara lupa simpan ke kulkas.

Ilmu itu tentang hal-hal yang kadang ada perlunya. Yang sudah dan masih dikuduskan seperti grammar Anda butuhkan sewaktu-waktu. Buktinya Anda masih injak-injak saya si pemamah biak susu ilmu Mastery on English Grammar-nya Imam D. Djauhari. Nama pengarangnya juga klasik, ejaan lama, dari nun djauh di tahun 1980-an. Buku edisi barunya—juga tahun 80-an— berwarna merah, biar semangat belajar bahasa Inggris.

Ada dosen filsafat nun jauh di masa lalu bilang “filsafat kita itu filsafat belah bambu”. Maksud beliau adalah kita orang Indo senang meninggikan diri sendiri dengan cara menginjak orang lain. Tapi sebenarnya itu berlaku di lapangan pendidikan dan pengajaran juga. Sekolah-sekolah kekinian, guru-guru banyak piagam dan sertifikat kekinian, lulusan-lulusan pascasarjana dua puluh tahun terakhir, akan injak-injak tradisi pengajaran di sekolah-sekolah lama untuk membuat mereka lebih tinggi dari masa lalu mereka yang penuh luka. Enak saja, mereka jadi begini-begitu karena tradisi lama juga. Jangan lupakan Umar Bakri! Lagi pula mereka itu giliran diminta omong bahasa Inggris, ah, masih saja cas-cis-cus, dan jauh lebih fasih mengurus administrasi, kalah sama angkatan darat yang dalam urusan karier di masa ORBA lekas-lekas naik pangkat tanpa sertifikat TOEFL. Apalagi di masa ORLA, presidennya saja benci yang cas-cis-cus. Tuh, Koes Plus dipenjara gara-gara itu juga! Jangan lupakan sejarah.

Jangan lupakan Henry Ford. Maksudnya fordisme! Bahwa apa saja yang baru-baru dari ilmu belum benar-benar jadi ilmu kalau dibikin massal-massalan. Seminar itu, pelatihan itu, nge-Zoom itu lagi, ngajarin rekan sejawat itu melulu, modul-modul seputar itu, terbang ke Jakarta belajar itu, sebangsa-senegara bicara itu. Massal. Ilmuwan sebenarnya itu sendirian-sendirian, main catur juga sendirian, memecahkan solusi-solusi putih King’s Gambit sendirian. Yang masal-masal adalah yang latah-latah.

Anda bilang saya tua, ya, tapi saya tua sendirian di depan papan catur. Anda bilang Anda lebih baru, muda, segar, tapi Anda itu konstituen yang kalau ditukar-tukarkan macam kata-kata dari kalimat, ya, tak lebih dari perubahan pasif ke aktif atau sebaliknya, alias tak mengubah dunia secara signifikan. Intinya bukan harus baru, ilmu itu harus didalami, macam kiyai mendalami pikiran-pikiran massal.

Apa? Anda bilang Anda progresif? Tidak, Anda itu mass institutional. Anda bilang Anda itu pluralis dan menghargai pendapat saya? Tidak, Anda itu nasionalis. Apa? Anda bilang Anda generasi yang lebih kreatif dengan perangkat-perangkat baru? Mana mungkin hasilnya oke jika mutu kritik dan analisis Anda di bawah angkatan salafi sarungan macam saya.

Tidak ada yang lebih hebat dari kita sejauh di masa mana pun cas-cis-cus ilmu itu fordisme belaka. []

 

Share your love
Avatar photo
Arip Senjaya

Pemenang Literasi Terapan Lokal Perpusnas 2022, alumni Batu Ruyud Writing Camp Kaltara, dosen filsafat Untirta, anggota Komite Buku Nonteks Pusbuk Kemdikbud, sastrawan, editor. Alumni UPI dan UGM.

Articles: 28

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply